Selasa, 25 Mei 2010

Jenderal banyak bekas

Jenderal banyak bekas

Tempo 18 Nopember 1972.
Karir a.h. nasution di abri. ia peletak fondasi yang kokoh bagi tni, yang dipakai lalu disingkirkan oleh sukarno. tugas nasution di mprd telah selesai. ia banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah.

TANGGAL 30 September malam ia masih terlihat muncul di layar TV RI. Mengucapkan pidato sehubungan dengan terjadinya G30S/PKI yang nyaris menewaskan dirinya sendiri 7 tahun berselang, jenderal Abdul Haris Nasution malam itu aritaranya mengingatkan apa yang-barangkali dilupakan orang: yaitu bahwa – mandat kepada jenderal Soeharto berupa Surat Perintah 11 Maret atau yang dalam singkatan agak berbau klenik disebut Super-Semar, sesuai dengan Tap MPRS nomor IX, sudah tidak berlaku lagi sejak dilantiknya MPR hasil pemilu. Dan pelantikan MPR hasil pemilu itu dilangsungkan tanggal 1 Oktober keesokan harinya. Namun Nasution ondiri tidak hadir dalam peristiwa resmi yang amat penting itu. Pertanyaan-pertanyaan beredar dalam masyarakat: kemana Nasution? Apakah ia tidak diundang? Apakah ia selaku ketua badan legislatif tertinggi yang berdasarkan Tap MPRS nomor X masih berfungsi sampai terbentuknya MPR hasil pemilu – tidak akan melakukan serah-terima jabatan dengan ketua MPR yang telah –berdasarkan kesepakatan antara fihak Parpol/Golkar dengan Presiden otomatis dijabat oleh ketua DPR? Pelarian Nasution ternyata memang tidak berada di Jakarta hari itu.

Munculnya ia di layar TVRI tanggal 30 September malam, bukanlah dalam siaran langsung, melainkan hasil rekaman beberapa hari sebelumnya. Nasution bukan tidak menerima undangan, meskipun bukan berupa undangan khusus melainkan hanya kartu undangan biasa dan bukan pula ditulis untuk “Bapak Ketua MPRS” melainkan hanya untuk “Bapak Jenderal Abdul Haris Nasution”. Undangan itu diterima ajudannya tanggal 28 September siang. Dan konon fihak panitia merencanakan, jika Nasution hadir tempat duduknya tidak lagi disediakan di tempat tersendiri melainkan di tempatkan di deretan para Menteri. Tapi menurut Nasution sendiri, bukan alasan protokuler ini yang, menyebabkannya tidak bisa memenuhi undangan tersebut.



“Sebagaimana dulu dalam pelantikan DPR”, katanya dalam jawaban tertulis kepada TEMPO, “juga dalam hal MPR, pimpinan lembaga lama tidak berperan”. Karena itu “saya tidak membatalkan acara-acara saya di luar kota, yang telah mengikat dari waktu jauh sebelumnya, yakni tanggal 29 September untuk Siliwangi dari resimen Mahasiswa di Bandung dan hari-hari berikutnya berceramah di depan senat-senat IAIN di Pacet, di depan Mahasiswa-Mahasiswa Katholik di Sindanglaya, serta Yayasan Pendidikan di Pacet. Kegiatan begitu sudah jadi rutin saya, karena 2 a 3 tahun terakhir ini saya bergiat di bidang pembinaan pendidikan”. Sejalan dengan kegiatan isterinya, di bidang sosial, bidang pendidikan memang agaknya sudah menjadi kegiatan baru jenderal Nasution.



Ia menjadi Ketua Dewan Kurator, Pelindung ataupun Pinisepuh dari berbagai Lembaga dan Yayasan Perguruan Tinggi di Jawa dan Sumatera. Tapi banyak orang menilai bahwa kegiatan baru Nasution itu lebih merupakan “pelarian” oleh kian tersisihnya ia dari konstelasi kekuasaan masa post Soekarno di tanah air. Anak dari keluarga H.A. Hlim Nasution yang dilahirkan tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan Tapanuli, kini jenderal Nasution nampaknya sedang memasuki masa akhir karirnya dalam jabatan resmi sepanjang 27 tahun sejarah RI – dan dalam cara yang barangkali tak begitu dikehendakinya. Jejak Yang Panjang Diasuh dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama Islam serta pendidikan Belanda yang didapatnya dalam masa sebelum perang, merupakan tumpukan latar-belakang yang telah membentuk sikap hidup serta posisi Nasution kemudian sebagai perwira dalam ketentaraan Republik Indonesia.



la mendapat pendidikan formil HIS, kemudian HIK dan AMS B sekaligus, menjadi guru untuk beberapa lama di daerah Bengkulu dan Palembang untuk kemudian memasuki Korps Pendidikan Perwira Cadangan yang dilanjutkannya memasuki Akademi Militer di Bandung ketika perang dunia ke-II pecan di Eropa. Kecuali masa 3″ tahun setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution adalah salah satu – kalau tidak boleh dikatakan ‘satu-satunya, tokoh minter yang paling lama berada di pucuk pimpinan TNI di sepanjang masa kekuasaan Soekarno. Karena itu sejarah lahir, tumbuh dan perkembangan kehidupan TNI sukar dipisahkan dari karir dan sepak terjang jenderal Nasution sendiri di dalamnya. Dalam kata-kata jenderal Yani almarhum ketika menerima penyerahan jabatan KASAD dari jenderal Nasution di bulan Juni 1962: “Jenderal Nasution bukan saja telah merintis jalan yang terang bagi kelanjutan TNI, tetapi ia juga telah meletakkan dan menyempurnakan fondasi yang kokoh bagi TNI”. Beberapa kali pernah teijadi keretakan dalam tubuh Angkatan Darat matipun Angkatan Bersenjata umumnya, dan Nasution tidak hanya terlibat dalam keretakan itu akan tetapi juga dalam pemulihan kembali keretakan itu. Ia yang meletakkan dasar-dasar doktrin perang wilayah, konsep dwi-fungsi ABRI serta pembentukan Hansip sebagai cara untuk menggagalkan konsep PKI untuk membentuk Angkatan ke-V.



Tapi jejak Nasution yang bisa diselusuri masih lebih panjang dari itu. Di masa tanpa jabatan setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952, ia mendirikan partai IPKI. Nasution yang memerintahkan pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia ketika menghangatnya konflik RI dengan Belanda mengenai Irian Barat dan mensponsori “PP 10″ yang terkenal itu. Nasution pula yang menghidupkan, konsep tentang golongan fungsionil yang kemudian bermuara pada pembentukan Sekber Golkar sebagai imbangan bagi kekuatan PKI terutama dalam Front Nasional. Tapi yang paling penting bahwa Nasution yang telah mempelopori agar UUD45 diberlakukan kembali sehingga dapat menempatkan Presiden (Soekarno) tidak hanya pada kedudukan seremonial melainkan sebagai kepala pemerintahan. Meskipun terdapat berbagai versi cerita mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober tersebut, tapi proses terjadinya peristiwa itu sedikit-banyak mempunyai hubungan erat dengan usaha mengembalikan kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan itu. Legalis & Dipilih Tapi bagi Soekarno, Nasution agaknya memang cocok untuk membintangi beberapa babak cerita tapi tidak untuk seluruh cerita. Ia memang seorang legalis dalam jabatan, tapi seorang puritan dalam sikap hidup dan anti-komunis dalam sikap politik.



Karena itu ia merupakan seteru bagi PKI, tapi tidak pula dengan sendirinya kawan bagi golongan selebihnya termasuk juga rekan-rekan nya sendiri dalam ABRI. Sebagai perwira tinggi yang memegang jabatan penting dalam mesin kekuasaan Soekarno, ia bukan tidak berfikir politis. “Dalam hidup ini”, katanya kepada TEMPO ketika ditanyakan mengapa ia mau bertalian dalam rezim Soekarno padahal ia tahu rezim itu banyak melakukan ke salahan-kesalahan, “orang tidak selalu dihadapkan pada pilihan antara yang baik dan yang buruk. Dan di sini kita malahan lebih banyak dihadapkan pada memilih yang paling kurang buruk di antara semua yang buruk”. Tapi Nasution agaknya bukan memilih ia dipilih. Ia dipilih Soekarno untuk mengatasi keadaan krisis dalam negeri yang diakibatkan oleh pergolakan di daerah-daerah. Ia dipilih Soekarno untuk memodernisir ABRI dan kemudian memimpin operasi pembebasan Irian Barat dan kemudian melakukan konsolidasi sesudahnya. Tapi. sesudah keadaan bisa dikuasai kembali, ia segera dipilih untuk disingkirkan pada kesempatan pertama. Pada tingkat ini, Soekarno yang kembalinya pada kedudukan kepala pemerintahan dengan ditopang Nasution bukanlah lagi Soekarno yang dulu, melainkan Soekarno Pemimpin Besar Revolusi yang berkuasa besar, cerdik, penuh perhitungan dan sedang mengimpikan dunia dalam tangannya.



Nasution yang puritan dan anti-komunis tidak diperlukan lagi dalam tingkat ini. Dan Nasution digeser keatas dari jabatan. KASAD yang sekaligus juga menjabat Kepala -Staf KOTI menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Konon Nasution mau melepaskan jabatan KASAD dari tangannya karena Soekarno semula setuju konsep Panitia Djuanda untuk merobah struktur ABRI menjadi struktur Hankam yang menempatkan semua Panglima Angkatan secara operasionil berada di bawah KASAB dan sekaligus jabatan Kas KOTI dipegang KASAB. Nasution kemudian menyerah-terimakan jabatan itu. kepada mayor jenderal Achmad Yani yang diangkat sebagai KASAD baru di bulan Juni 1962. Tapi Soekarno ternyata telah siap dengan konsep lain di balik penggeseran itu. Dengan alasan bahwa Panglima AU dan AKRI tidak setuju berada di bawah kASAB, Soekarno sebaliknya menempatkan semua Panglima Angkatan berada secara operasionil langsung berada di bawah Panglima Tertinggi sambil memberikan kedudukan Menteri kepada masing- nasing Panglima Angkatan. Jawa & Luar Jawa Menyimak kembali kejadian-kejadian di masa itu dalam suatu kerangka analisa yang lebih luas, orang agaknya suka mengelakkan pula kesimpulan yang agak berbau “kesukuan” ,dari fikiran yang melatar-belakangi tindakan Soekarno mengambil alih langsung komando operasionil ABRI waktu itu.



Sebagai akibat politik Trikora yang kemudian dilanjutkan dengan politik konfrontasi dengan Malaysia, ABRI telah menjelma menjadi satu Angkatan Bersenjata yang besar dan modern dan potensi kekuatannya itu justru harus menumpuk di daerah-daerah di luar Jawa. Dengan seorang Nasution yang berasal dari luar Jawa dan tak pula rukun -dengan Presiden/Pangti/PBR/dll sebagai pemegang komando operasionil ABRI secara keseluruhan, Soekarno agaknya menaruh kekuatiran bahwa kekuatan besar ABRI itu justru akan digunakan untuk menghadapi kekuasaannya. Nasution memang yang telah menggelakkan penumpasan terhadap pemberontak-pemberontak di daerah-daerah, tapi bagaimanapun Nasution dinilai tetap masih lebih dekat dengan daerah daripada terhadap pusat malam keadaap seperti itu Soekarno merasa lebih aman jika pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh seorang yang berasal dari dan berakar di Jawa. Dan mayor jenderal Yani cukup memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk kita. Akan tetapi untuk membuat Yani ataupun Angkatan Darat secara keseluruhan tidak terlalu besar memegang peranan, maka ABRI tidak diintegrasikan melainkan dipertahankan tetap terpisah dan masing-masing berada langsung di bawah Panglima Tertinggi.



Benar atau tidak kesimpulan demikian yang jelas langkah penyingkiran terhadap Nasution telah dilakukan. Sebagai KASAB yang nota-bene tidak pernah dilantik ia telah tidak lagi berada dalam garis operasionil ABRI dan tinggal mengurus bidang administratif belaka luga jabatan Kas-KOTI yang semula akan dipegang oleh KASAB tetap dirangkap oleh KASAD yang telah digantikan oleh Yani Toh dalam posisi yang tak bergigi seperti itu Nasution telah dicantumkan di tempat paling atas dalam daftar nama tokoh-tokoh AD yang akan diculik oleh PKI dalam percobaanya merebut kekuasaan tanggal 30 September 1965. Karena itu bisa dimengerti bila setelah Nasution ternyata bisa meloloskan diri dari percobaan pembunuhan itu ia tidak bisa serta merta melakukan tindakan balasan apalagi untuk mengambil operasi-operasi penumpasan seperti yang waktu itu banyak ditunggu-tunggu oleh masyarakat awam. Pelucutan Soekarno Tapi peristiwa G30S/PKI itu sendiri tidak hanya menandai berakhirnya aliansi semua. Nasution-Soekarno untuk selama-lamanya Peristiwa itu juga secara politis di satu fihak telah menandai awal dari keruntuhan Soekarno pula sementara di fihak lain justru menonjolkan kembali figur Nasution.



Sebagai satu-satunya perwira yang lolos dari percobaan pembunuhan di antara perwira-perwira yang dijadikan sasaran unltuk mana toh seorang puteri kandungnya harus menjadi korban telah menurunkan hujan simpati yang luas terhadap Nasution Sementara masyarakat mulai mempertanyakan kedudukan Soekarno yang berkuasa secara tak terbatas itu di sana-sini mulai pula terdengar suara-suara yang menghendaki agar Nasution diangkat menjadi wakil Presiden. Tidak mengherankan dalam reshuflle kabinetnya setelah G30S/PKI Soekarno mengeluarkan sama-sekali nama Nasution dari formasi ia bahkan dipecat dari jabatannya sebagai Menko Hankam/KASAB. Situasi berubah dengan cepat dan dalam proses yang berkembang kemulian ternyata kian menjauhkan Nasution dari bidang eksekutif tapi sebaliknya membawanya masuk ke bidang legislatif. Dalam sidang umum MPRS pertama setelah G30S/PKI di tahun 1966 Nasution terpilih sebagai Ketua badan legislatif tertinggi itu menggantikan Chairul Saleh yang telah terlempar ke rumah tahanan militer. Akan tetapi melalui forum ini pula proses pelucutan kekuasaan Soekarno dapat dilakukan dengan mantap dan dipercepat terutama setelah Presiden Soekarno mengucapkan pidatonya yang diberinya judul Nawaksara yang kemudian disusulnya dengan Pelengkap Nawaksara. Itu agaknya merupakan pidato terakhir bagi Soekarno Tidak seperti yang diharapkan oleh MPRS bahwa Soekarno akan memberikan pertanggung jawaban selaku Mandataris, Soekarno mengatakan bahwa ia tidak punya kewajiban konstitusionil untuk memberi pertanggungjawaban kepada MPRS. Mengenai G30S atau yang disebutnya Gestok Soekarno menunjuk kepada jenderal Nasution selaku Menko Hankam/KASAB waktu itu yang juga bertanggungjawab atas terjadinya peristiwa itu pernyataan terakhir Presiden Soekarno ini telah menyebabkan Nasution memberikan penjelasan pribadi secara panjang lebar mengenai kedudukan dirinya waktu menjabat Menko Hankam/KASAB serta rekonstruksi prolog maupun epilog dari G30S. Calon Presiden? Dalam kedudukannya selaku Ketua PRS tak dapat dipungkiri Nasution telah memberikan andil yang besar terhadap pengukuhan kekuasaan pemerintahan yang baru di bawah jenderal Soeharto terutama dalam periode sampai dengan sidang umum ke–V MPRS di tahun 1968.



Bahkan ditetapkannya jenderal Soeharto sendiri sebagai Presiden penuh melalui sidang umum ke V itu adalah juga hasil dari campur-tangan langsung Nasution Waktu itu di harihari terakhir bulan Maret 1968 sidan Komisi-I tertumbuk pada jalan buntu akibat perbedaan pendapat fraksi-fraksi mengenai masa jabatan Soeharto jika ia ditetapkan sebagai Presiden penuh. Padahal hanya tinggal 2 hari lagi Soeharto harus berangkat mengadakan kunjungan ke Jepang Kemacetan itu telah menimbulkan issue-issue yang luas seakan-akan Nasution sendiri ingin mencalonkan diri sebagai Presiden Malangnya bagi NdsUtion karena issue demikian bagaimana pun bukan tanpa alasan mengingat ia merupakan tokoh yang sudah lama populer dibandingkan dengan Soeharto yang baru saja dikenal sejak meletusnya G30S/PKI Tapi benarkah waktu itu Nasution ingin mencalonkan dirinya sebagai Presiden? Dari Nasution sendiri tidak bisa diharapkan jawaban tegas terhadap pertanyaan seperti ini Tapi yang jelas “saya toh tidak mempunyai kekuatan untuk itu” seperti dikatakannya kepada TEMPO Dan sekarangpun ia agaknya sudah semakin tidak mempunyai kekuatan lagi untuk itu. Ketika menjelang dan sesudah pemilu orang mulai ramai lagi membicarakan tentang pemilihan Prcsiden oleh MPR di bulan Maret 1973 nanti nama Nasution bahkan tak pernah disebut-sebut lagi juga tidak untuk calon jabatan Wakil Presiden Tapi bagaimana sekiranya ia yang ditawari untuk jabatan itu? Sehari sebelum wawancara dengan TEMPO, jawaban telah diberikan nya kepada UPI: “Pertanyaan ke–2 tidak relevant karena pimpinan Golkar ABRI sebagai pemegang mayoritas mutlak dalam MPR telah menentukan pencalonan Soeharto–Sultan Yogya Pula tidaklah pantas 2 orang Jenderal bersama-sama dalam posisi tertinggi itu”.



PETA VS KNIL Bagaimanapun ketegangan yang terjadi sekitar kedudukan Soeharto dalam sidang umum ke-V MPRS itu telah menandai terciptanya pula garis pemisah antara Nasution di satu fihak dengan rekan-rekannya sendiri dalam Angkatan Darat di lain fihak. Tapi mereka yang menyelusuri sejarah perkembangan TNI sejak mula lahir nya akan menemukan kesimpulan bahwa apa yang terjadi sekarang agaknya sudah mempunyai akar jauh di masa lampau orang masih ingat adanya ketegangan ketegangan antara yang disebut kelompok KNIL dengan yang disebut kelompok PETA ketika akan dibentuknya atau inti pimpinan TNI di masa awal revolus fisik dulu. Yang pertama adalah perwira-perwira yang mendapat pendidikan militer Belanda atau bahkan pernah aktif dalam dinas militer Belanda dan merek ini lazimnya juga disebut grup Bandung Dalam grup ini dapat disebut antaranya nama-nama TB Simatupang Alex Kawilarang R Kartakusuma, Hidayat Djatikusumo, Askari Nasution sendiri bahkan seorang perwira yang sudah senior dalam dinas kemiliteran Belanda yaitu Urip Sumoharjo Ketika RI Proklamasikan mereka ini kemudian mengeluarkan ikrar yang menyatakan tidak lagi terikat pada sumpah setia pada kerajaan Belanda dan menyatakan memihak RI. Pada kelompok PETA adalah perwira-perwira yang mendapat didikan militer dibawah Jepang rata-rata kurang mendapat pendidikan formil akan tetapi justru merasa merupakan benih orisinil dari TNI Kedua kelompok bagaimanapun tak bisa dibedakan dengan ukuran kesukuan Jawa atau non–Jawa oleh karena meskipun kelompok PETA relatif mempunyai lebih besar unsur-unsur Jawa kedua grup terdiri baik yang berasal dari Jawa maupun bukan Jawa Kelompok PTA meskipun terdiri dari orang-orang seperti Sudirman–yang kemudian menjadi Panglima Besar — atau kolonel Sutarto di Solo toh ada nama seperti Zulkifli Lubis di Yogya ataupun Aruji Kartawinata di daerah Priangan.



Ketegangan antara kedua kelompok itu menjadi amat kritis ketika diadakan konperensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bulan Nopember 1945 di Yogya Kelompok PETA beruntung dapat menguasai sidang-sidang berhubung utusan-utusan dari Jawa Timur dan Jawa Barat tidak banyak yang bisa hadir karena terjadinya pertempuran-pertempuran di kedua daerah itu. Hasil yang dicapai adalah suatu kompromi Sudirman dari kelompok PETA diangkat menjadi Panglima Besar sedang Kepala Stafnya Urip Sumoharjo dari kelompok KNIL. Tapi pasangan Sudirman–Urip ternyata tak bisa dikatakan ideal Keduanya mempunyai perbedaan baik dalam usia (Sudirman baru 33 tahun Urip sudah 52 tahun) maupun sikap dan konsepsi. Tapi dalam soal konflik antara siapa yang paling berhak memimpin TNI jenderal Sudirman dengan reputasinya yang tinggi di medan pertempuran dan kewibawaannya yang besar berhasil mengatasinya dengan mengambil sikap bahwa ukuran seorang prajurit hanya ditentukan oleh prestasinya dalam perjuangan membela Republik dan bukan dengan ukuran masalah ataupun lainnya. Toh hampir dalam sctiap konflik yang terjadi baik dalam AD maupun AP polanya sedikit banyak masih menunjukkan sisa-sisa konflik kelompok KNIL PTA yang dulu juga. Target Likwidasi Adakah “kasus Nasution” akan merupakan buntut terakhir dari sisa-sisa konflik lama itu sulit diduga Yang jelas Nasution agaknya merupakan tokoh terakhir dari kelompvk KNIL itu yang meninggalkan dinas kemiliteran jika ia memasuki masa pensiun dalam waktu yang tidak lama lagi.



Sejak berakhirnya sidang umum ke–V MPRS tugas Nasution dianggap telah selesai. Berbagai masalah prinsipiil yang tertunda dibicara kan oleh Komisi-Komisi dalam MPRS akibat ketegangan mengenai soal masa jabatan Presiden Soeharto itu –akhirnya tak pernah sempat diselesaikan lagai oleh MPRS fihak eksekutif pun sesudah itu berjalan sendiri dengan kebijaksnaan-kebijaksanaannya yang tidak 100% dianggap sempurna oleh pimpinan MPRS Hal itu misalnya bisa dibaca dalam buku Laporan Pimpinan MPRS yang merupakan pertanggungjawaban pimpinan lembaga itu selama menjalankan tugas antara 1968-1972. Betapapun lembaga pimpinan MPRS makin lama makin kehilangan arti dan wibawanya. Setelah pemilu selesai dan Golkar di menangkan Pemerintah dan DPR segera merumuskan keputusan bahwa pimpina DPR akan otomatis menjadi pimpinan MPR pula. Tetangga Panggabean Ketidak-hadiran Nasution dalam upacara pelantikan anggota MPR tanggal 1 Oktober yang lalu bagaimanapun agaknya tidak terlepas dari kenyataan-kenyataan diatas – diucapkan atau tidak “Adapun soal serah terima” kata Nasution pula dalam jawaban tertulisnya kepada TEMPO, “menurut hemat saya yang terpenting ialah soal tata-laksana pemilu dan termasuk proses kegiatan sampai bersidangnya lembaga hasil pemilu”.



Dan menurut Nasution pula “sebagaimana lainnya di negara-negara demokrasi lain lebih baik kalau tatalaksana tersebut diserahkan kepada suatu badan yang otonom dengan berdasarkan UU yang bertanggungjawab kepada lembaga kedaulatan rakyat” Untuk wawancara pers kini Nasution memang hanya bersedia melakukannya dengan cara tertulis. Belum lama berselang ia terlibat percakapan dengan seorang wartawan yang mengikuti perjaianannya ke daerah Nusatenggara dan hasil percakapan tersebut kemudian muncul dalam bulanan Ragi Buana. Banyak hal yang sifatnya merupakan pernilaian pribadi Nasution mengenai keadaan selama di bawah pemerintahan Soeharto terutama mengenai perkembangan ABRI — soal dwi-fungsi soal rekan-rekannya para jenderal yang bermewah-mewah dan sebagainya — dan senua itu dimuat secara mentah-mentah oleh wartawan bersangkutan. Dan akibatnya “hanya menambah pekerjaan rumah bagi saya” katanya Reaksi pertama dan keras segera datang tidak kurang dari jenderal Panggabean – tetangga Nasution yang jarak rumahnya hanya dipisahkan oleh lebarnya jalan Teuku Umar. Perbedaan Meskipun begitu dalam jawaban-jawaban ataupun ceramah yang telah di persiapkan lebih dulu Nasution masih bersedia juga membeberkan pernilaian nya mlengenai keadaan selamla di bawah pemerintah Soehlarto sekarang. Kepada UPI! mlisalnya, ia menilai bahwa korupsi sekarang ini tidak semakin berkurang dibandingkan dengan dimasa pemerintahan Soekarno, bahkan mungkin meluas. Banyak usaha-usaba non-budgetair yang dilakukan orang-orang pemerintah dan tidak jelasnya status seorang sebagai penguasa atau pedagang.



Dalam hubungan ini ia menekankan perlunya segera di lakukan pembaharuan tata-kehidupan politik dan administrasi. Sampai sekarang masih belum adanya kepastian hukum bagi rakyat, sehingga masih belum terjaminnya hak-hak warganegara, hak-hak kelompok warganegara dan juga hak-hak daerah serta desa. Masih kurang efektifnya public service, justru memperbesar beban berbagai pungutan pada masyarakat yang sering dirasakan diskriminatif pula. Dengan selalu berpegang pada rumusan Seminar Angkatan Darat tentang apa yang disebut orde baru, Nasution memberikan tekanan pada perombakan total dan bukannya tambal-sulam. Pemilu yang baru lalu menurut Nasution, pada hqkekatnya tidak membawa pembaharuan kehidupan politik, karena sistim pemilu yang dianut itu tidak di robah dengan memakai sistim distrik seperti yang disarankan oleh,seminar AD. Apalagi dengan begitu besarnya jumlah wakil-wakil yang hanya ditunjuk ataupun diangkat. Dalam berbagai ceramahnya yang terakhir erutama di kampus-kampus Nasution mencoba memperlihatkan pendiriannya meskipun tidak selalu dengan bahasa jelas dan-fikiran orisinil. Ia meletakkan perioritas pada pembangunan sosial. Tapi di sini kembali soalnya pada masalah pembaharuan mental yang merupakan modal pertama menumbuhkan kesadaran sosial. Mengapa kesadaran sosial. “Kesadaran nasional kita relatif sudah tinggi”, kata Nasution, “tapi kesadaran sosial kita amat rendah. Tantangan sosial yang kita hadapi sudah 30 tahun menumpuk tanpa pernah mendapat perhatian”.



Karena itu ia berpendapat, strategi pemlbangunan, haruslah berporos pada pembangunan sosial-secara integral Keadilan tidak bisa menunggu sampai tercapainya kemakmuran lebih dulu “Sebagai contoh dengan tiadanya konsep integral itu”, kata Nasution dalam ceramahnya di Universitas Andalas bulan Agustus yang lalu, “dalam pembangunan ekonomi secara makro telah berhasil dan dengan statistik dapat dilihat kemajuan kemajuannya, justru dirasakan semakin sulit bagi usahla-usaha pribumi di berbagai sektor, dan makin gawatnya masalah usahla pribumi dan non-pribumi Yang mana melibatkan diam-diam pejabat-pejabat yang tidak kuat jiwanya dan telah jadi salah satu sebab salah urut dalam aparatur negara, sebagaimana dahulu ditemukan oleh Operasi Budi”. Banyak Bekas. Nasution adalah satu di antara sedikit perwira-perwira TNI yang banyak menulis dan menerbitkan tulisan-tulisannya sebagai buku. Sampai sekarang tidak kurang, dari 16 judul buku yang telah di terbitkan termasuk kumpulan-kumpulan ceramahnya dan ia masih terus mengerjakan yang lain. Tulisan-tulisan dan ia ceramah-ceramah itu bagaimanapun tidak dapat dilepaskan dari situasi politik ketika ia ditulis, sehingga beberapa dari karyanya itu misalnya ada yang berisi cukup padat menunjang konsepsi-konsepsi Soekarno di zaman nasakom.



Ceramah-ceramahnya umumnya steriotip, dan dalam gaya menulis instruksi-instruksi tulisan-tulisannya tidak memikat seperti tulisan T.B, Simatupang misalnya. Setelah memasuki masa pensiun, seperti dikatakannya, “saya tidak ada maksud untuk memulai sesuatu pekerjaan baru, juga tidak untuk jadi rektor”. Yang jadi niatnya dan telah ia mulai adalah “terus bergiat menghayati identitas prajurit TNI, yang saya telah ikut menegakkan dan mengembangkannya sejak 1945: yakni pertama-tama sebagai pejoang untuk kemajuan dan keselamatan rakyat-Doktrin ini telah jadi persetujuan dengan Presiden, waktu saya tahun 1955 kembali menjadi KSAD, dan dengan itu saya telah susun pula dag-order Presiden 5 Oktober 1955″. Itu artinya “. saya akan tetap bergiat dalam masyarakat, tentu dalam batas-batas yang mungkin termasuk bidang politik, sebagaimana menurut jiwa UUD 45 sudah jadi kewajiban setiap warganegara”. Tapi dalam satu nafas di tambahkannya: “Sudah barang tentu bahwa kondisi yang diharapkan oleh UUD 45 itu belum tercapai, dan dengan itu masih saja ada batasan-batasan”. Dia tegaskannya bahwa bergerak dalam politik, tidak berarti bahwa ia akan memasuki salah satu partai politik. Adakah itu dapat diartikan bahwa Nasution mengharapkan akan dapat muncul memegang peranan penting kembali? Sekali lagi dari seorang Nasution tidak bisa didapat jawaban terhadap pertanyaan seperti i ni. Sebagai seorang perwira tinggi senior yang sedang menjalani masa persiapan pensiun, Nasution sampai sekarang masih menerima fasilitas-fasilitas seorang jenderal aktif.



Tapi suasana sekitar rumahnya sudah jauh berubah. Pengawalan ketat seperti dulu sudah tidak ada lagi, rumah jaga di gerbang pekarangan kosong dan pengawal yang terdiri dari beberapa orang itu hanya berjaga dalam pekarangan atau dalam ruangan: di gedung samping. Kenalan-kenalan masih tetap banyak sering mengunjunginya tapi amat sedikit jumlahnya yang dirasa dari kalangan militer. Sampai sekarang jenderal Nasution telah menerima tidak kurang dari 55 bintang, satyalencana, gelar, jabatan kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk 4 gelar doctor honorius causa. Dari jabatan penasihat. Kepala BPR Bandung di tahun 1945 sampai menjadi Ketua MPRS di tahun 1966-1972, tak terhitung berapa jumlah jabatan yang pernah dipegangnya. Ia tercatat sebagai KSAD RI yang pertama di tahun 1949 pada usia 31 tahun. “Saya ini banyak bekasnya”, katanya dengan tersenyum membuang pandang ke ubin. Kaum Komunis di luar negeri yang menganggap pemerintahan Orde Baru sebagai “rezim Soeharto-Nasution”, agaknya belum tahu bahwa Nasution kini adalah tokoh tanpa pokok. Orang meragukan kemungkinannya untuk tampil kembali kelak, dalam usia yang sudah 54.
Potret keluarga dalam mpp
Kisah sunarti, putri gondokusumo sampai menikah dengan a.h. nasution. aktif dalam kegiatan sosial dan mendapat satya lencana. memasuki masa mpp justru keluarga nasution merasa lebih tenteram.
PERAWAKAN, wajah dan kening yang tinggi dengan hidung menantang kedepan, memang mengesankan dia seorang turunan Indo. Tapi dia menolak hal itu. “Indo itu kalau ayahnya orang asing. Ayah saya Jawa asli, ibu saya yang Belanda”, katanya. Lahir di Surabaya tahun 1924 sebagai puteri satu-satunya dari 3 bersaudara anak keluarga Gondokusumo, Sunarti sempat menamatkan pendidikan HBS Gymnasium Bandung, pernah jadi pembantu Perawat dan anggota PMI sebelum pada akhirnya menjadi nyonya Abdul Haris Nasution di tahun 1947.



Dibujuk

Itu adalah buah yang menjelma di masa mengungsi dari suatu proses perkenalan yang dimulai di masa danilai di tahun 1940 di suatu lapangan tenis kota Bandung, Waktu itu Sunarti baru berusia 16 tahun, sementara pemuda Nasution masih menjadi kopral taruna KMA pada usia 21 tahun. Tapi, seperti yang dengan malu-malu dituturkan nyonya Nasution kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO, “percintaan kami tidak tumbuh dari pandangan pertama”. Sejak perkenalan itu, Nasution dengan disertai seorang pemuda Batak lain yaitu T.B. Shimatupang, sering terlihat bertandang ke rumah ini jalan Nassau Bandung, tempat tinggal keluarga Gondokusumo. Konon maksudnya untuk bertukar fikiran dengan tuan-rumah meskipun barangkali yang lebih banyak berlangsung adalah tukar Pandang dan sapa dengan puteri si tuan-rumah. Walhasil, ketika Nasution yang sudah Panglima Divisi Siliwangi berpangkat Kolonel muncul lagi ketetnpat pengungsian keluarga Gondokusumo di desa Ciwidey Bandung Selatan di tahun 1947, kedatangannya bukanlah sekadar singgah sehabis mengadakan inspeksi pasukan perjuangan, melainkan untuk melamar Sunarti. “Saya waktu itu sudah di Yogya, akan melanjutkan pelajaran ke Kedokteran”, tutur Sunarti Pula dengan senyum-senyum kecil. “Tapi saya disusul, dibujuk untuk menikah dulu, sesudah itu nanti boleh meneruskan “sekolah”. Dan sambil membuang muka kesamping dengan suara seperti menggerutu dia menambahkan. “Nyatanya saya dibohongi setelah menikah saya tidak boleh lagi sekolah”.

Isteri simpanan

Pernikahan itu kemudian melahirkan 2 orang anak perempuan: Hendrianti Saharah dan Ade Irma Suryani. Yanti yang sulung telah menikah dengan seorang lulusan AKABRI.”Udara, kini tinggal di Malang dan telah mempersembahkan seorang cucu kepada suami-isteri Nasution. Tapi malang bagi Ade. Irma dia tewas oleh serbuan G30S/PKI 7 tahun yang lain. Meskipun begitu, rumah di jalan Teuku Umar yang telah didiami keluarga Nasution selama lebih dari 20 tahun tidak lantas jadi sepi. Mereka menampung beberapa orang anak angkat, sehingga “kalau waktu makan ada sekitar 10 orang berkumpul di meja makan”, tutur nyonya Nasution Pula. Luka hatinya akibat kematian tragis puteri bungsunya itu, juga seakan sedang disembuhkannya dengan menyibukkan diri di bidang kegiatan sosial, mengurus anak-anak terlantar dan orang-orang jompo liwat panti-panti asuhan. Dulu dalam pakaian kain-kebaya dengan dandanan yang pantas dan rapi, dia biasa tampil di depan umum dengan meninggalkan kesan seorang isteri yang selalu siap mendampingi tugas-tugas jabatan seorang suami. Kini, dalam pakaian sport dan rak sedengkul rambut sedikit disasak dan diikat di belakang, dia muncul di berbagai panti asuhan sebagai seorang ibu yang sibuk di tengah-tengah anak-anak terlantar yang memerlukan bimbingan dan kasih-sayang. Dia adalah ketua dari Badan Pembina :Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial (BPKKS) DKI, di samping juga sebagai ketua Dewan Nasional untuk Badan Kesejahteraan Sosial di bawah Departemen Sosial RI.

Dan semua jabatan itu dipegangnya sebagai tenaga sukarela, tanpa mendapat bayaran apapun. Untuk pengabdiannya di bidang sosial ini beberapa bulan lalu dia mendapat penghargaan Satya Lencana dari pemerintah. “Dialah yang selalu membisikkan ketelinga Ali Sadikin agar pemerintah DKI membangunkan juga sekolah bagi anak-anak buta, menyumhang tanah untuk panti asuhan”, cerita nyonya Siregar, kepala Humas BPKKS. “Dan bisikan bu Nas rupanya selalu berhasil”, katanya pula. Dewasa ini pemerintah DKI memberikan subsidi sebesar Rp 650.000 setiap bulan kepada BPKKS, sedang kebutuhan minimal adalah Rp 1 juta. Tapi kekurangan itu rata-rata bisa ditutupi dari kian banyaknya sumbangan-sumbangan yang diterima dari masyarakat, sementara panti-panti asuhan di DKI diakui nyonya. Siregar sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Konon menurut cerita di sana- sini dewasa ini kantor BPKKS di jalan Tanjung itu telah menjadi kancah persaingah menyumbang antara isteri pertama dengan isteri-isteri kedua dan seterusnya dari pejabat-pejabat sipil maupun ABRI yang punya simpanan. Tentang adanya cerita semacam ini, dari nyonya Nasution hanya, didapat jawaban yang bisa dicari tafsirnya sendiri: “Pokoknya setiap sumbangan selalu saya terima dengan senang hati, karena anak-anak kita memang membutuhkan bantuan”.

Tangis haji

Tidakkah Nasution barangkali mempunyai isteri simpanan pula? Nyonya yang tahun lalu telah menunaikan ibadah haji dan tak pernah meninggalkan shalat ini bercerita: “Pak Nas sering mengatakan kepada saya, syarat untuk beristeri lebih dari satu itu amat berat. Ini kalau orang betul-betul mau mengikuti apa yang diwajibkan agama”. Katanya lagi: “Kalau saya menilai Pak Nas adalah suami yang soleh, itu bukan berarti ia tidak pernah lupa sembahyang. Tapi saya rasa, suami saya lebih baik dari kebanyakan kiyai sekarang. Maksud saya, jalan hidupnya selalu diusahakannya untuk menuruti apa yang diperintahkan agama”: Dekat dengan agama agaknya memang merupakan suasana kehidupan suami-isteri jenderal Nasution. Barangkali itu pula sebabnya keduanya bisa tampak begitu tabah ketika terpaksa harus melepa jenazah si kecil Ade Irma ketempat peristirahatannya yang terakhir 7 tahun yang lalu Dengan tidak merasa terganggu nyonya Nasution sendiri membiarkan orang menggantungkan gambar puterinya itu di dekat pintu masuk gedung BPKKS tempatnya berkantor sehari-hari. Nyonya siregar yang selalu dekat dengan ketua PBKKS itu dan pergi haji bersamanya tahun lalu bercerita. Seorang nyonya dari kedutaanyang menjamu kami waktu itu menanyakan kembali peristiwa tewasnya Ade Irma dan ibu Nas tiba-tiba menangis. Tapi setelah kering air-matanya ibu Nas kemudian berkata mengapa ia saya tangisi lagi hal itu. Barangkali karena waktu itu kita di luar Negeri sehingga lebih mudah terharu” kata nyonya Siregar.

Tenis Menjelang Berbuka

Kesibukannya dengan tugas-tugas sosial itu ternyata tidak lebih menjauhkan nyonya Nasution dari tugas-tugas sebagai seorang isteri di rumah. Dia sendiri konon yang masih turun berbelanja ke pasar untuk kebutuhan sebulan meskipun untuk belanja hari-hari sudah ada orang lain yang mengerjakannya dan meskipun seperti dikatakannya “pak Nas tidak pernah rewel dalam soal makanan karena “lidahnya sudah biasa dengan makanan Jawa dan Sunda” tapi kegemaran si isteri memakan hasil masakan sendiri masih sering membawa nyonya Nasution menyisakan juga waktunya untuk ke dapur Tentu saja hal itu tak jarang mendapat teguran dari fihak suami “Sudahlah itu kau sudah cukup repot dengan tugas lain” di rumah Nasution aanya bukanlah lelaki yang sekali-kali tidak memperlihaltkan kekuasaan seorang suami. Dia biasa tidur jam 12 malam dan “jika saya tidur duluan” tutur si isteri “pak Nas sering ngambek” Juga kalau ia minta ditemani main tenis ajakannya seperti instruksi seorang komandan ke pada anak-buahnya: “Tinggalkan dulu urusanmu itu kita main tenis dulu”.

Tenis–olahraga yang dulu telah mempertemukan keduanya adalah satu-satunya sport mereka dan di sektor ini jenderal Nasution tercatat sebagai salah seorang pemain tenis tingkat nasional di Indonesia. Mereka tidak turut-turut main golf seperti yang umumnya menjadi mode masyarakat tingkat atas karena selain mahal “kami tak punya waktu banyak untuk main golf” kata nyonya Nasution “Tenis” katanya pula “selain lebih efektif” untuk sport juga tak banyak memakan waktu” Dalam usia 53 tahun sekarang Stamina Nasution di lapangan tenis nampaknya belum juga mengendor Bahkan di bulan puasa kemarin 2 kali dalam seminggu dia menyongsong waktu berbuka puasa dengan bermain tenis di lapangan Monas. Bila waktu berbuka tiba mereka menghentikan permainan untuk kemudian melanjutkan set yang tertunda setelah berbuka selesai.

The Avengers

Habisnya jabatan-jabatan resmi jenderal Nasution baik di badan eksekutif maupun legislatif dan ABRI bagi nyonya Nasution dirasakan sebagai menguntungkan dari sudut ketenangan keluarga Sekarang tak banyak lagi undangan-undangan resepsi seperti dulu Undangan-undangan dari kedutaan asing biasanya hanya mereka wakilkan “Tapi kalau undangan yang sufatnya amat pribadi perkawinan. apalagi kalau ada kematian kami selalu datang” kata nyonya Nasution “Untuk perkawinan saya sendiri yang memberikan kado meskipun kecil” katanya pula. Sekarang kalau tidak ada acara keluar malam hari mereka habiskan dengan membaca atau nonton TV “Pak Nas gemar mengikuti film seri Avengers dan Iron side”‘ kata nyonya Nasution. Tapi sekali-sekali mereka juga mengunjungi bioskop “kalau kebetulan filmnya baik” sebagai isteri seorang perwira tinggi wanita ini telah memberikan andil banyak dengan caranya sendiri dalam menunjang posisi dan karir suaminya. Dia misalnya tak segan memberikan perhatian pada hal-hal kecil untuk menyenangkan seorang tamu negara. Ketika dia menerima kunjungan nyonya Imelda Marcos di wisma Angkatan Darat beberapa waktu yang lalu hadiah-hadiah yang pernah diperolehnya dari Imelda ketika dia menyertai suaminya ke Pilipina beberapa waktu sebelumnya di-boyong nyonya Nasution kesana ke dalam bahasa Inggeris yang Pasih dia berkata kepada tamunya “Lihatlah hadiah-hadiah dari anda. Saya masih menyimpannya dan ini barang-barang berharga bagi kami sekeluarga”.

Tapi tentang politik? Jelas nyonya Nasution bukan tidak punya pendapat dan penilaian tentang keadaau dalam negeri sekarang tapi dalam nada yang tak bisa menyembunyikan rasa getir dia hanya berkata “Itu urusan pak Nas Saya lebih baik mengurus anak-anak saja. Konon dalam Pemilu yang lalu nyonya Nastion tidak turut memberikan hak suaranya beberapa wartawan yang menunggu kedatangannya di kotak suara dekat rumah Nasution tak melihat nyonya Nasution muncul di sana sampai saat pemasukan suara selesai Selama jenderal Nasution masih dalam jabatan aktif di Angkatan Darat nyonya Nasution juga memang tidak banyak terlihat aktif dalam Persit. Ini agaknya sesuai dengan prinsip suaminya bahwa isteri seorang pimpinan ABRI tidak harus otomatis juga menjadi atasan dari isteri-isteri para prajurit bawahannya seperti yang sekarang terjadi dalam organisasi isteri tentara itu. Sekarang setelah memasuki masa persiapan pensiun sedang yang “nebeng” di rumah banyak dari mana keluarga Nasution akan dapat menutupi kebutuhan belanja setiap bulan? Dari jenderal Nasution sendiri jawaban atas pertanyaan ini hanya sebuah senyum sementara dari isterinya terlompat ucapan ”Semua orang tahu berapa besar sih pensiun jenderal Tapi pokoknya orang harus berusaha”. Tapi apa usaha itu tidak disebutkan.

Sumber: http://peristiwanasional.wordpress.com/2009/10/17/jenderal-banyak-bekas/

Senin, 26 April 2010

Setumpuk Buku, 30 Tahun yang Lalu

Setumpuk Buku, 30 Tahun yang Lalu

Tak ada yang luar biasa pada buku itu. Sebuah buku tua yang, jika masih ada, telah berusia tiga dasawarsa, dengan lembar-lembar tulisan yang boleh jadi sudah menguning. Sampul depannya berwarna putih dengan cap Garuda Pancasila serta susunan huruf kaku berwarna biru. Laporan Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972, begitulah buku setebal 548 halaman itu bertajuk. Inilah buku yang merangkum pandangan dan kritik Abdul Haris Nasution (almarhum), Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) ketika itu, tentang kekuasaan Soeharto di awal Orde Baru-seputar tujuh tahun pertama masa kekuasaannya. Tapi, pada 1972, sejarah buku itu ditutup. Pemerintah meminta dokumen itu dikumpulkan untuk dimusnahkan. Yang telanjur beredar ditarik dan orang yang membuatnya diinterogasi. Saat ini hampir tak ada yang memiliki buku tua itu. Arsip Nasional tak lagi menyimpannya, begitu juga perpustakaan besar di universitas-universitas. "Arsip Nasional malah memintanya dari saya, sementara saya sendiri tak punya," kata Nyonya Nasution, istri Abdul Haris. "Saya hanya punya fotokopinya," kata Abdul Kadir Besar, 76 tahun, Sekretaris Jenderal MPRS periode 1966-1972. Sore itu, ketika ditemui di sebuah rumah di bilangan Menteng, Jakarta, matanya menerawang. Ia mengenang masa lalu. Sejatinya ini sebuah kisah lama: sebuah cerita dari tiga dasawarsa lalu. Tapi, Mei silam, sebuah surat melayang ke meja Abdul Kadir Besar. Pengirimnya adalah University of Western Australia. Mereka meminta izin kepada Kadir untuk menerjemahkan beberapa tulisan dalam buku itu. Jika proyek penerjemahan itu terlaksana, sebuah catatan sejarah Indonesia bisa diselamatkan di luar negeri. Di dalam negeri, ia tak bersisa. Kisah ini bermula pada 1971. Ketika itu, Nasution meminta Abdul Kadir membukukan semua dokumen tentang aktivitas parlemen Indonesia. Kadir membuat beberapa seri buku berdasarkan periode parlemen. Ada buku tentang rapat-rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Ada juga buku tentang konstituante dan buku tentang lima kali sidang MPRS periode 1960-1968. Selain itu, ada buku khusus tentang rapat komisi dan subkomisi panitia ad hoc MPRS. Total ada sekitar 120 buku yang masing-masing dicetak 3.000 eksemplar. "Setiap seri dicetak dengan warna sampul berbeda," kata Kadir. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menanggung seluruh biaya produksi sebesar Rp 27 juta. Proses cetak dilakukan oleh Percetakan Siliwangi, Jakarta. Dalam surat yang dikirimkan MPRS kepada percetakan itu, disebutkan sebagian buku sudah harus selesai pada 15 September 1972-dua minggu sebelum pelantikan MPR hasil pemilu. Buku itu sejatinya akan dibagikan kepada anggota MPR baru. Sekitar 2.500 eksemplar memang masih disimpan di gudang MPRS di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Hanya sebagian kecil yang sempat dibagikan Nasution ketika ia berkunjung ke beberapa pesantren di Jawa Timur. Sebagian lainnya dikirim ke beberapa universitas negeri serta kepada para menteri dan Presiden Soeharto. Tapi justru karena sampai ke tangan pemerintah itulah buku tersebut memancing persoalan. Pada 28 November 1972, polisi berdasarkan surat bernomor Sprin/ODY/04/320/7/XI/72 melakukan penyitaan. Buku di gudang Cilandak dirampas dan yang sudah beredar ditarik. Hanya sedikit yang tersisa. "Saya punya karena, ketika ada pelarangan, buku-buku itu saya simpan di gudang," kata Mashuri, bekas Wakil Ketua MPRS. Di ruang kerja yang sempit di rumahnya di Bandung, Mashuri memang masih menyimpan sebagian koleksi sejarah itu. Tapi yang lainnya musnah. Abdul Kadir Besar, sejumlah pengurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi. Tudingannya seram: membocorkan rahasia negara. "Saya diperiksa setiap hari selama sebulan penuh," kata Kadir. Tak seperti Kadir, yang diinterogasi di markas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), "pesakitan" lainnya diperiksa di Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak), lembaga yang kini disebut Markas Besar Kepolisian RI (lihat Mereka yang Diinterogasi). Mengapa buku itu menjadi momok? "Sebenarnya yang diincar hanya buku Laporan Pimpinan MPRS ini," kata Kadir. Koleksi lainnya hanya terseret-seret. Dalam buku itu, Nasution memang keras mengkritik Soeharto. Ia misalnya mempersoalkan prioritas pembangunan yang Jawa-sentris. Peran asisten pribadi (aspri) presiden dan tendensi militerisme dalam pemerintahan juga dipermasalahkan. Nasution bahkan memperingatkan sesuatu yang telah dimulai Soeharto dan kemudian terpelihara hingga era reformasi kini: penggunaan dana nonbujeter. "Buku ini banyak mengandung kritik kepada pemerintah yang bahkan berlaku hingga sekarang," kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam (lihat Lubang-Lubang di Dua Jalan). Lalu siapa yang mengambil inisiatif memusnahkan harta sejarah itu? Tak jelas betul. Tak ada bukti konkret perintah langsung datang dari Soeharto. Diduga kuat Soeharto merestuinya, Abdul Kadir Besar mencurigai ini kerjaan Kopkamtib, yang ketika itu diketuai Jenderal Soemitro. Tak aneh: Kadir diinterogasi oleh aparat Kopkamtib. Asvi melukiskan kuatnya peran Kopkamtib ketika itu: "Bahkan kroco-kroco-nya di sana bisa mengambil keputusan," ujarnya kepada TEMPO. Kopkamtib sendiri tak bisa dilepaskan dari konteks politik pada masa itu, ketika peran militer amat dominan-ini sebuah lembaga di luar hukum yang pekerjaannya lebih mirip dinas-dinas rahasia milik rezim militer: menangkap, menginterogasi, dan "menangani" orang-orang yang dituduh subversif. Pada akhir Orde Baru, lembaga ini diganti namanya menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas), yang pekerjaannya idem dito dan cakupannya sangat luas: mengurusi sengketa tanah, protes petani, dan bahkan sengketa perburuhan. Setelah reformasi, Bakorstanas dibubarkan. Soemitro sendiri tentu saja tak bisa lagi ditanyai. Ia wafat beberapa tahun lalu. Memoarnya yang ditulis pada 1994 juga tak menyebut-nyebut pelarangan buku ini. Tapi, siapa pun yang mengambil inisiatif, banyak yang percaya bahwa peristiwa pelarangan buku itu tak datang dari ruang hampa. Konteks besarnya adalah upaya Soeharto mengukuhkan kekuasaannya sebelum mendapat mandat sebagai presiden definitif pada 1972. Beberapa sarjana Barat menyebutnya sebagai kudeta merangkak (creeping coup d'etat) ala Soeharto. Salah satu bukti "kudeta" itu adalah penundaan pemilu. Dalam Sidang Istimewa 1967 sebenarnya sudah ditetapkan pemilu harus dilaksanakan pada 1968. Tapi Soeharto menundanya hingga tiga tahun kemudian dengan alasan Undang-Undang Pemilu belum tersedia. Alih-alih mempersiapkan pemilu yang demokratis, Soeharto malah menekuk lawan politiknya selama masa transisi itu. Sisa-sisa PKI yang dia anggap berbahaya dikirim ke Pulau Buru. Lawan-lawan lainnya dia pagari agar tak masuk ke dunia politik melalui berbagai skrining ketat. Anggota parlemen ditambah melalui penunjukan subyektif pemerintah. Pada Januari 1967, misalnya, anggota DPRGR ditambah, yang sebagian besar (63 kursi) dijatah buat Golongan Karya. Dan MPRS pelan-pelan dibuat tak berdaya. Resminya, lembaga itu masih bekerja hingga Oktober 1972. Namun, sebelum itu, melalui pengumuman pemerintah, MPRS dinyatakan tak berfungsi. "Saya tidak pernah dikonsultasikan oleh Presiden. Tahu-tahu kami tidak berfungsi lagi," kata Nasution dalam memoarnya, Jenderal tanpa Pasukan, Politikus tanpa Partai. Keinginan Soeharto untuk mengamankan dan mempercepat dicapainya jabatan presiden definitif diperkuat oleh cerita Abdul Kadir Besar, tentara yang menjadi tangan kanan Nasution. Menurut Kadir, suatu hari datang kepada Pak Nas tiga jenderal utusan Soeharto. Mereka meminta Nasution segera mengesahkan Soeharto sebagai presiden definitif. Nasution menolak dengan alasan menunggu Pemilu 1971. Sempat tegang, ketiga jenderal akhirnya pulang dengan tangan kosong. "Belakangan, seorang jenderal kembali dan meminta maaf kepada Pak Nas dan mengatakan ia hanya disuruh Soeharto," kata Kadir. Berbagai cerita kudeta merangkak ini secara implisit sebetulnya dibenarkan oleh Ali Moertopo, militer kepercayaan Soeharto. Dalam sebuah artikel yang terbit pada 1981, Ali menyebut delapan tahap strategi Orde Baru menghadapi Orde Lama. Salah satunya adalah menyederhanakan sistem kepartaian dan mengikis musuh Orde Baru. Tapi dalam memoarnya, " Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya" , Soeharto membantah. " Ada yang menyarankan saya untuk mengambil kekuasaan, tapi saya tak mau," katanya. Meski arus besar berpihak kepada Soeharto, "perlawanan" ketika itu bukan tak ada. Terhadap marginalisasi peran MPRS dan Nasution, misalnya, muncul Subhan Z.E., Wakil Ketua MPRS dari Nahdlatul Ulama. "Ali Moertopo kelihatan tidak senang dengan pimpinan MPRS. Jika ia tak suka, mestinya yang diserang bukan MPRS karena institusi itu dilindungi UUD," katanya. Di parlemen sendiri, khusus mengenai penarikan buku-buku Nasution, dukungan lebih banyak diberikan kepada Soeharto. Sayuti Melik, anggota legislatif dari Golkar, misalnya, meski tak jelas-jelas mendukung pemusnahan buku itu, berkata, "Yang berhak menilai mandataris MPRS adalah lembaga MPRS dan bukan pimpinan MPRS." Kasus ini memang mencuatkan pertarungan di antara dua jenderal: A.H. Nasution dan Soeharto. Mengutip ucapan sejarawan Asvi Warman Adam, "Buku ini adalah bentuk perlawanan Nasution terhadap Soeharto." Dan jelas ini bukan perseteruan kemarin sore. Meski menguasai pasukan, Soeharto tak pernah bisa benar-benar menyingkirkan Nasution selepas masa kejatuhan Sukarno. Dan Soeharto membutuhkannya untuk melawan PKI. Nasution jelas lebih senior ketimbang Soeharto. Saat Nasution kembali dilantik sebagai KSAD pada 1955, Soeharto belum menjadi apa-apa. Ketika Nasution telah aktif membela Sukarno pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soeharto baru meniti karir pada tingkat regional (lihat Nasution, Soeharto, dan Estafet Politik Tentara). Itulah sebabnya, ketika belakangan Nasution dipepet di sudut ring oleh Soeharto, ia menggeliat. Setelah MPRS dibubarkan, Nasution melakukan road show ke daerah-daerah untuk memberikan ceramah. Ia ke Jawa Timur mengunjungi Pesantren Lirboyo di Kediri dan Pesantren Gontor di Ponorogo. Sebentar kembali ke Jakarta, ia lantas pergi lagi. Ia menghadiri acara di beberapa kota di Jawa Barat: Bandung, Pacet, acara mahasiswa di Sindanglaya, dan sebuah madrasah di Cipanas. Pada 18 November 1972, ia memberikan ceramah di Universitas Indonesia, yang menyebabkan ia dipanggil Kopkamtib. Tapi panggilan itu tak digubris Nasution. Pada hari itu, Nasution mesti menghadiri pernikahan putri Profesor Sarbini dengan tokoh mahasiswa Hariman Siregar. Baru pada malam harinya dia menghadap Panglima Kopkamtib. "Pak Nas, kalau orang lain, buat saya tak masalah. Tapi justru Pak Nas yang bicara, yang diketahui orang tidak senang kepada Pak Harto, ini bisa menjurus kepada timbulnya suasana yang membahayakan. Saya mohon Pak Nas, jangan sampai terulang lagi," kata Jenderal Soemitro kepada Nasution seperti yang dimuat dalam memoar Soemitro. Tak jelas apa reaksi Nasution. Yang pasti, setelah itu, masa-masa sulit datang kepada sang Jenderal Besar. Dia disingkirkan sebagai politisi dan warga sipil. "Setelah buku-buku itu ditarik, semua fasilitas kami distop. Air PAM rumah kami dimatikan. Bapak diinteli terus. Saya diminta mundur dari yayasan sosial meski sudah terpilih sebagai ketua," kata Bu Nas kepada TEMPO. Masa-masa sulit itu telah berakhir. Nasution telah tiada dan di tahun-tahun akhir hidupnya ia dirangkul Soeharto dengan diberi gelar jenderal besar. Yang belum selesai adalah catatan sejarah yang hilang bersama musnahnya buku-buku itu. Arif Zulkifli, Dwi Arjanto, Andari Karina Anom, Rinny Srihartini (Bandung), Raihul Fadjri (Yogyakarta), Anas Syahirul, Sunudyantoro (Tempo News Room)

22 Juli 2002
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/07/22/IQR/mbm.20020722.IQR79323.id.html

Minggu, 28 Maret 2010

Wawancara Jenderal TNI (purn.) A.H. Nasution : "Tidak Perlu Kebakaran Jenggot..."

Wawancara Jenderal TNI (purn.) A.H. Nasution :
"Tidak Perlu Kebakaran Jenggot..."

Jenderal TNI (purn.) Abdul Haris Nasution, Mantan Ketua MPRS, rupanya sangat tanggap terhadap isu seminar Nawaksara yang dilontarkan Menpora Hayono Isman. "Saya dari tempat tidur jalan ke sini karena Hayono Isman ingin bicara masalah Nawaksara," katanya bergurau di depan puluhan wartawan yang berkumpul di rumahnya, Rabu lalu (2 April 1997).

Begitu isu Nawaksara meluncur, Pak Nas memang diserbu pertanyaan wartawan. Tapi, karena belum lama menjalani operasi prostat, bekas orang pertama MPRS itu hanya bisa menjawab pertanyaan wartawan secara tertulis. Hanya sekitar sepuluh menit dia berada di tengah-tengah wartawan berbagai media, termasuk Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif.

Berikut tanya jawab tertulis dengan Jenderal (purn.) Nasution:


Bagaimana tanggapan Bapak terhadap anggapan sementara orang bahwa Nawaksara itu tidak ada (dibuat-buat), sehingga timbul gagasan Menpora Hayono Isman untuk menseminarkannya?

Yang beranggapan bahwa Nawaksara itu tidak ada, adalah mereka yang tidak mengetahui. Untuk menghadapi orang yang tidak mengetahui itu, tidak perlu kebakaran jenggot. Jangan dibuat pekerjaan rumah (PR) oleh mereka yang sebetulnya tidak mengetahui. Tentang niat Menpora melaksanakan seminar tentang hal itu yang khabarnya demi pelurusan sejarah, tentu boleh saja, tetapi pilihlah momentum lain, tidak harus sekarang. Kini kita sedang menghadapi banyak persoalan yang memerlukan penanganan secara serius.

Kenapa yang bereaksi itu bukan pakar sejarah, tetapi justru idenya datang dari Menpora Hayono Isman? Kenapa pula harus dilakukan menjelang pemilu yang dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan baru?

Kita tidak tahu apa yang ingin dicapai oleh Menpora dalam persoalan ini.

Bagaimana sebenarnya mengenai Nawasaksara itu?

Nawaksara itu istilah dari Bung Karno, sembilan huruf, yang terdiri dari sembilan pokok isi pidatonya. Terhadap pidato itu timbul reaksi-reaksi dari masyarakat terutama dari KAMI dan KAPPI-KAPI. Mereka menganggap pidato itu bukan sebagai progress report (laporan pertanggungjawaban), tidak sesuai dengan Keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966 tentang pemberontakan G-30/S-PKI, kemerosotan ekonomi dan akhlak.

Proses seterusnya, pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden memenuhi Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 dengan menjawab Nota Pimpinan MPRS Nomor nota 2/Pimpinan MPRS, perihal melengkapi laporan pertanggungjawaban yang disebut sebagai Pelnawaksara (Pelengkap Nawaksara). Karena pimpinan MPRS menolak pertanggungjawaban Presiden, maka pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengeluarkan Resolusi agar MPRS mengadakan Sidang Istimewa. Konsiderans Resolusi DPR-GR untuk Sidang Istimewa MPRS itu menyebutkan, bahwa keputusan MPRS No.5/MPRS/1966 tentang tanggapan MPRS terhadap Nawaksara adalah jalan tengah untuk tidak menolak sepenuhnya laporan pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPRS di depan Sidang Umum MPRS ke IV yang tidak memenuhi harapan rakyat.

Melalui Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan dari Presiden Sukarno kemudian diserahkan kepada Jenderal Suharto sebagai Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden. Kemudian atas resolusi DPR-GR pada tanggap 28 Februari mendesak MPRS agar mengadakan Sidang Umum ke-V untuk mengangkat Pejabat Presiden menjadi Presiden penuh. Karena syarat terakhir ini dipersyaratkan oleh negara-negara donor (IGGI) yang pertama di Tokyo, Jepang.

Apakah cuma Nawaksara yang perlu diluruskan, atau mungkin ada peristiwa-peristiwa sejarah lainnya yang juga perlu diluruskan?

Menurut saya masih banyak. Dan itu tugas kalian sebagai generasi muda yang harus membaca sejarah, supaya tidak kesasar atau disasarkan.

Sumber: http://www.tempointeractive.com/ang/min/02/05/utama5.htm



Jenderal TNI (purn) A.H. Nasution:
"Saya Tidak Terpancing Untuk Kudeta"

Sekali waktu pada tahun 1994, seorang mahasiswa Universitas Indonesia pernah bertanya kepada Jenderal (purn.) Nasution : mengapa Bapak tidak mengkudeta Bung Karno, padahal Bapak adalah korban PKI? Lama Nasution tak menjawab pertanyaan itu, bahkan sampai acara diskusi di Kampus UI Depok berakhir, Nasution belum mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.

Jauh hari kemudian, sebuah makalah singkat ditulis Nasution untuk menjawab pertanyaan mahasiswa UI tadi. Berikut petikan makalah singkat itu :

Rupanya ada saja anggapan bahwa kemauan sikap atasan harus ditaati bawahannya. Tentulah sistem TNI tidaklah demikian oleh karena kehidupan prajurit adalah taat kepada Sapta Marga dan lain-lainnya, serta taat sepenuhnya kepada perintah atasannya (hukum disiplin), atas dasar kesadaran perjuangan, TNI kita tidaklah terkecuali.

Saya mendengarkan satu penilaian terhadap pribadi saya sebagai konseptor Perang Gerilya yang cukup berhasil. Tapi rupanya saya juga dinilai berhasil demikian di bidang militer dan tidaklah berhasil di bidang politik yakni sebagaimana ada diajukan mengapa Pak Nas tidak mengoper kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno setelah G30S. Memang pada tahun 1965 itu tidak ada niat pada kami, para Jenderal untuk mengkup Presiden, hal itu pada malam 1 Oktober 1965 dinyatakan oleh Jenderal Suharto: "Untuk sementara pimpinan AD kami pegang, antara AD, ALRI dan AKRI telah mendapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan Kontra Revolusioner yang menamakan dirinya "G30S" . . . Telah membentuk "Dewan Revolusi Indonesia" dan telah mengambil kekuasaan negara atau lazimnya disebut kup dari tangan Presiden Sukarno. . . .

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan mereka itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke-akar-akarnya. Kita yakin dengan bantuan penuh dari masa rakyat yang progressif revolusioner, gerakan Kontra Revolusioner 30 September pasti dapat dihancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya di bawah pimpinan Presiden kita tercinta Bung Karno."

Memanglah tidak pernah ada niat menggeser Presiden sedemikian, karena dengan mengkup presiden dapatlah PKI membuktikan alasan mereka untuk mengkup pimpinan AD dan menggantinya dengan orang-orang mereka sebagai landasan untuk mengoper pimpinan RI. Jadi kami tidaklah punya niat demikian dan syukurlah tidak terpancing berbuat demikian. Yang jadi pikiran kami adalah hanya satu, yakni waktu itu fitnah terhadap AD sebagai antek CIA untuk menyingkirkan Presiden. Jadi tidak ada niat kami demikian, yang jadi niat kami hanyalah agar tukang fitnah itu diperiksa dan kami bersedia diadili jika fitnah itu benar, tetapi sebaliknya jika fitnah mereka tidak benar, supaya si pemfitnah itu diadili/dihukum konform. Karena itu para Jenderal AD saya kerahkan untuk membuat petisi kepada Presiden guna membantah fitnahan itu, sebagaimana saya ucapkan pada penglepasan jenazah Yani (Jend. A. Yani) dkk.

Di samping itu perlulah saya ingatkan bahwa dengan pangkat senior saya, maka saya tidaklah berhak memerintahkan bawahan. Upaya fitnahan kepada saya cukup berhasil yakni pada tahun 1962 "menggantikan saya" dengan Jenderal Yani, lalu setahun kemudian mereka berhasil pula "meniadakan" jabatan Wapangsar saya, sehingga saya sepenuhnya di luar komando ABRI. Maka dengan itu dapatlah dimengerti.

Seperti tertulis Cindy Adams (penyusun biografi Bung Karno) dalam "My Friend The Dictator", tentang hari-hari genting itu berada di sekeliling Presiden. Pada halaman 307: "The only reason Suharto was names to his high position was as a sop to Soekarno, who hates Nasution, the uncrowned political ruler of the military", menggambarkan kegigihan emosional beliau dalam soal-soal mengenai pribadi saya. Saya telah mendengar kegigihan itu sebelumnya dari Jenderal Soeharto sendiri, waktu persoalan Kas KOTI (kepala staf komando tertinggi), pemecatan saya dari Kabinet, dsb-nya. Beda dari masa saya KSAD term ke-2, dimana beliau menyerahkan surat kuasa penuh yang ditandatangani oleh PM Juanda kepada saya sewaktu beliau pergi ke luar negeri. Tapi dengan meneliti proses pematangan oleh PKI cs, kemudian saya dapat memahami satu dan lainnya.

Prosesnya ialah pertama-tama pergolakan memperebutkan komando AD, Tanggal 1 Oktober 1965 Jenderal Suharto sesuai standing order AD bertindak sebagai Pj. Pangad, tapi Presiden mengoper Komando AD dengan Jenderal Pranoto sebagai care taker. Setelah perundingan Bogor (saya tidak diundang), tanggal 3 Oktober Jenderal Suharto mengumumkan mematuhi perintah Presiden melepaskan jabatan Pj. Pangad dan bertindak seterusnya sebagai Pangkopkamtib, dst-nya.

Bergolaklah soal menduduki jabatan-jabatan yang menentukan yaitu Kas KOTI, Wakil Presiden, Jakil PM Bidang Hankam, dst-nya. Pangad mencalonkan saya jadi Kas KOTI tapi ditolak oleh Presiden, sehingga Jenderal Suharto terpaksa merangkapnya di samping jabatan Pangad dan Pangkopkamtib. Presiden marah, karena ada beberapa DRD mengusulkan saya jadi Wakil Presiden? Sehingga Pangad memprakarsai Statement ABRI 21 Januari 1966, tak perlu mengisi jabatan itu. Kemudian Presiden menghapuskan jabatan saya, Menko Hankam/Kasab, Presiden menolak lagi pencalonan saya sebagai Waperdam Hankam, sehingga Jenderal Suharto terpaksa lagi merangkapnya di samping jabatannya yang sudah cukup banyak itu. Kebetulan sebagai senior ABRI saya dimunculkan oleh AD untuk berbagai jabatan itu, tapi tiap kali dilawan gigih oleh Presiden, tapi untuk menjabat Ketua MPRS beliau tidak mutlak merintangi, dan bisa menerima asal jangan jadi Pj. Presiden. Inilah yang terjadi.

Memanglah ada saya penilaian politik bahwa sikap saya kurang "politis", sehingga terjadi pendapat-pendapat bahwa saya melihat "kesempatan-kesempatan" tersebut dengan kacamata yang dianggapnya lebih legalitis (UUD) serta idealis daripada politis.

Saya tidak tersinggung, tapi merasa berkewajiban untuk menjelaskan peristiwa 1965 itu sebagaimana adanya kepada mahasiswa. Adalah pertanyaan yang sampai sekarang terus diajukan kepada saya baik dari luar maupun dari dalam negeri, tapi perlu juga dihargai kondisi pada waktu itu dimana "Presidenlah yang masih menentukan tentang jabatan-jabatan", sehingga ditulis oleh Cindy Adams seperti tersebut diatas.

Saya menghargai sikap spontan mahasiswa sebagaimana telah menilai saya sebagai tukang gerilya militer dan bukan politik. Dan saya berdo'a semoga pembangunan ABRI seterusnya dilengkapi sebagai milisi, sehingga para perwiranya bukan saja berasal dari Akademi tapi juga dari perwira cadangan (wamil). Seingat saya belakangan ini 2 (dua) perwira puncak tentara Amerika adalah juga berasal dari wamil (Panglima Gulf serta Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf). Insya Allah dengan demikian lebih terpadu persatuan semua pemuda baik dalam ABRI maupun Sipil.

Saya mengharapkan agar Kampus UI akan berfungsi terus sebagai salah satu pembaruan perjuangan bangsa karena itu Insya Allah UI tetaplah terpimpin dan terbina jadi pembaru perjuangan. Sebagai manula saya sadar bahwa seterusnya nasib RI adalah di tangan generasi penerus dan sebagai manula saya sadar tugas mesti beralih.

Saya yakin bahwa konflik kepentingan adalah bagian tetap dari kehidupan manusia. Aspirasi dan kepentinganlah yang melahirkan politik. Maka pokok permasalahan adalah terletak pada politik umumnya dan pada pilihan penyelesaian konflik khususnya. Saya yakin bahwa kondisi yang diharapkan Mac Arthur itu takkan tercapai selama politik lebih berdasarkan kekuasaan dan bukan berdasarkan "moralitas dan akal sehat". Kita kenal motto Mao Tse Tung bahwa politik lahir dari laras bedil dan di Indonesia kami kenal slogan komunis bahwa politik adalah panglima. Kedua motto itu telah membawa bencana. Dalam masa jayanya komunis di Indonesia, saya amanatkan kepada tentara: "Bahwa akhlaklah panglima". " Karena akhlak adalah kekuatan dari dalam diri sendiri untuk berbuat baik dan menjauhi yang tidak baik."

Sebagai negara baru kita tidaklah sekedar ingin mengejar ketertinggalan terhadap negara-negara maju, melainkan sebagai orang beriman kita ingin membangun kehidupan bermartabat spritual dan material dengan ridho Tuhan. Kita yakin bahwa ridho-Nyalah kebahagiaan hakiki dunia akhirat.

Demi mengupayakan sikap hidup demikian maka upaya pembangunan bangsa, khususnya pendidikan berfungsi central. Pendidikan demi pembangunan "manusianya", character building, serta pembangunan kecerdasan/ketrampilan, penguasaan ilmu dan teknologi. Yang pertama untuk memproduksi manusia, yang mampu menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan dari jamannya dan yang kedua untuk menjawab tantangan-tantangan dalam kebutuhan-kebutuhan materi dan teknologi dari perkembangan masyarakat.

Kita harus berpacu dengan kemajuan teknologi, akan tetap yang menentukan adalah tetap" the man behind the gun". Dan bagi orang beriman "ridho Tuhanlah mahkota segala amalan". Kiranya dengan menghayati sikap hidup demikian maka dalam penyelesaian konflik-konflik, baik nasional maupun internasional, kita selalu berupaya mencari dan menempuh jalan yang diridhoi-Nya. Jakarta, Oktober 1994 A.H. Nasution Jenderal TNI (Purn.)

Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/utama6.htm


Majalah D&R, 17 Januari 1998
Edisi 46/02 - 17/Jan/1998

Wawancara Abdul Haris Nasution:
Saya ini 21 Tahun dicekal


"JENDERAL NASUTION, seperti pengakuannya sendiri, adalah seorang "strong old soldier". Ini diucapkan oleh dokter yang pernah mengoperasi jantungnya di Amerika Serikat tahun 1986 silam. Kini di usianya yang ke-80, Jenderal Abdul Haris Nasution yang baru saja mendapatkan bintang lima masih tetap kelihatan segar meski sesekali masih harus diperiksa kesehatannya. "Saya bersyukur bahwa saya masih memasuki usia 80 tahun. Ya, bagaimanapun tambah tualah, tambah banyak penyakit. Jadi yang kami doakan itu adalah supaya terjaga kesehatan," katanya kepada D&R. Yang istimewa dari tokoh besar yang pekan ini menjadi "Tamu Kita" ini adalah mungkin ia salah satu dari sedikit jenderal yang sangat produktif menulis buku, memiliki daya ingat yang tajam, dan bahasa yang sangat lugas. Salah satu buku tentang masa kecilnya baru saja diluncurkan, sedangkan satu buku lagi yang berkisah tentang sejarah kepemimpinannya di militer -- tentu saja termasuk peristiwa G30S/PKI dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya -- juga sedang digodok untuk diterbitkan. Yang menarik juga adalah peran Jenderal Nasution sebagai Ketua MPRS di tahun 1966 yang menolak pidato pertanggungjawaban Bung Karno. Berikut adalah wawancara wartawan D&R Tiarma Siboro yang dijawab secara tertulis dan lisan oleh jenderal yang bercucu empat orang ini.


Apa komentar Anda tentang penganugerahan Bintang Lima kepada Anda oleh ABRI menjelang hari ABRI tempo hari?

Reaksi saya cuma satu: tidak menolak, itu saja (tertawa perlahan). Saya ini 21 tahun dicekal, ha, ha, ha. Yang mencekal itu kan pemerintah. Jadi, ya, segala sesuatu saya terima saya, jadi saya tidak bisa menolak. Tapi saya bersyukur juga.

Bagaimana asal mula pengangkatan Bapak sebagai Ketua MPRS dan dilantik pada 12 Juni 1966? Siapa saja yang saat itu menjadi anggota MPRS?

Saya dipilih oleh golongan-golongan yang ada di MPRS, yaitu Nasionalis, Islam, Kristen/Katolik, Golkar, dan Utusan Daerah. Selama pemilihan itu, saya tidak hadir dalam sidang-sidang, tetapi sebelum pemilihan, saya didatangi oleh Jenderal Alamsyah Ratupiawiranegara, Ketua SPRI Panglima Angkatan Darat, yang diutus oleh Jenderal Soeharto. Pimpinan Angkatan Darat telah memutuskan agar saya sebagai senior ABRI waktu itu dicalonkan menjadi Ketua MPRS

Bagaimana Presiden Soekarno membacakan pidato Nawaksara yang konon merupakan pidato pertanggungjawaban Bung Karno seputar G30S/PKI?

Pidato Presiden tanggal 22 Juni 1966 pada Sidang Umum IV/ MPRS itu disebutnya sebagai Progres Report dengan judul Nawaksara, karena berisi sembilan pokok. Menurut penilaian waktu itu,amanat tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu progress report atau pertanggungjawaban, karena, pertama, materi amanat itu pada hakikatnya tidak memberikan pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Seharusnya sesuai dengan kedudukan presiden terhadap MPRS, maka presiden harus memberikan pertanggungjawaban hasil kerjanya kepada MPRS. Kedua, isi amanat itu pada umumnya berisi saran-saran kepada MPRS dalam bidang poleksos (politik, ekonomi, sosial) di mana presiden menghendaki agar MPRS mempertahankan saja keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan MPRS yang sebenarnya menyimpang dari UUD 1945, misalnya mengenai presiden seumur hidup.

Mengapa kemudian MPRS menolak pidato pertanggungjawaban tersebut, dan mengapa dinyatakan belum lengkap sehingga masih perlu dilengkapi?

Reaksi berbagai lapisan masyarakat alas pidato Nawaksara tidak mencerminkan kehendak masyarakat pada saat itu. Sebagai pimpinan MPRS, setiap hari harus melayani berbagai delegasi dari masyarakat terutama pemuda, pelajar, mahasiswa, dan berbagai kelompok masyarakat. Pidato itu tidak menggambarkan pertanggungjawaban mengenai kemunduran ekonomi, akhlak, dan G30S/ PKI. Dari keseluruhan pidato tersebut, MPRS menilai bahwa Nawaksara kurang memenuhi harapan rakyat. Maka, keluarlah Keputusan MPRS No.5/MPRS/1996.

Benarkah saat itu banyak pihak yang menginginkan Bung Karno turun? Siapa saja mereka? Adakah saat itu mereka memberikan altenatif nama untuk menggantikan Bung Karno sebagai Presiden RI?

Sebelum pemberian Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), tidak terdengar suara-suara tentang penggantian Presiden Soekarno. Pada umumnya suara-suara dari masyarakat hanya menghendaki pemurnian UUD 45 secara murni dan konsekuen. Pada Pasal 2 Ayat 1 Tap. MPRS No.XV/MPRS/ 1966 menyebutkan bahwa jika presiden berhalangan, pemegang Supersemar memegang jabatan presiden. Demikian pula pada Ayal 1 di atas oleh pengembannya dilakukan dengan didampingi oleh pimpinan MPRS dan pimpinan DPR-Gotong Royong.

Dalam kapasitas Bapak saat itu sebagai Ketua MPRS, bagaimana Bapak mengomentari pidato kenegaraan Bung Karno yang berjudul Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) pada 17 Agustus 1966?

Jasmerah adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno. Presiden memberi judul pidato itu dengan Karno mempertahankan garis politiknya yang berlaku "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah". Dalam pidato itu Presiden menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa MPRS belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk.

Ketika Anda masih menjabat sebagai Ketua MPRS, Anda memberikan mandat kepada pejabat presiden pemegang Supersemar untuk memeriksa keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G 30 S/PKI, tapi kemudian pemeriksaan tersebut dihentikan (dideponir). Mengapa?

Sebenarnya kami waktu itu mengirim surat kepada beliau (Bung Karno), tapi perhatiannya kurang, malah menjadi pidato Jasmerah. Saat itu kami melihat responsnya tidak sebagaimana yang kami harapkan. Kemudian DPRGotong Royong memproses dan mengusulkan supaya beliau dituntut. Tapi, ya, kita di Indonesia tidak usah begitu jauh.

Ketika ramai demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus meminta Bung Karno mempertanggungjawabkan terjadinya G30S/PKI, MPRS memperingatkan Bung Karno agar melengkapi Nawaksara. Apakah Bung Karno kemudian melengkapinya?

Bung Karno memang melengkapinya dengan apa yang disebut sebagai Pel-Nawaksara (Pelengkap Nawaksara). Pimpinan MPRS telah menerima dengan resmi surat Presiden Rl tentang pelengkap pidato Nawaksara yang diantarkan oleh Sekretaris Militer Presiden Mayjen Suryo Sumpeno. Setelah membaca surat tersebut, maka catatan sementara dari pimpinan MPRS adalah bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/ MPRS/1966. Kemudian, Pelengkap Nawaksara itu bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para panglima Angkatan Bersenjata.

Menurut Pak Nas, seberapa jauh "keterlibatan" atau pengetahuan Bung Karno tentang upaya G30S/PKI?

Pada 1 Februari 1967, Pangkopkamtib Jenderal Soeharto mengirimkan laporan tim Pangkopkamtib dengan 13 halaman data dan fakta yang ditemukan dalam persidangan pengadilan semenjak perkara Nyono yang menyangkut diri Presiden Soekarno dan yang dapat digunakan sebagai bukti maupun petunjuk-petunjuk pada tingkat keterlibatan dalam masalah G30S/PKI. Menurut saya, Bung Karno sesuai dengan garis politiknya saat itu, memang memberikan "angin" kepada PKI. Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatannya dengan G30S/PKI, hanya pengadilanlah yang dapat memutuskan.

Persatuan Wartawan Indonesia dan Kodam Siliwangi ternyata pada 19 Januari 1967 menyatakan tidak dapat menerima Pelengkap Nawaksara. Bagaimana sikap MPRS menghadapi penolakan-penolakan itu?

MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami simpulkan dalam rapat pada 10 Januari 1967.

Pada 21 Februari 1967 Bung Karno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Supersemar sesuai dengan Tap. MPRS Tahun 1966. Penyerahan kekuasaan itu kemudian disetujui oleh DPR-Gotong Royong. Bisakah diceritakan kembali prosesnya?

Pada 22 Februari 1967 seluruh menteri berkumpul di Istana Merdeka untuk mendengarkan pengumuman Presiden yang berisi: "Setelah menyadari konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara, maka dengan ini saya umumkan:

Pertama: Kami, Presiden Indonesia Mandataris MPRS/Pangti ABRI, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Tap. No.lX/MPRS/66, Jenderal TNI Soeharto, sesuai dengan jiwa Tap. No.XV/MPRS/66 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.

Kedua: Pengemban Tap. No.lX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada presiden setiap waktu jika dirasa perlu.

Ketiga: Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi, dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas pengemban Tap. No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut di atas.

Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS."

Menurut Pak Nas, mengapa Bung Karno tidak kunjung bersedia membubarkan PKI kendati tuntutan itu sudah demikian gencarnya?

Yang dapat memberikan alasan mengapa tidak membubarkan PKI hanyalah yang bersangkutan (Bung Karno).

Ada yang Pak Nas harapkan di usia senja ini?

Kalau usia sudah begini, mau berjuang pun tidak. Kalau ada orang bergerilya, biarlah orang lain, saya hanya di samping.

Majalah D&R, 17 Januari 1998
Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/46/nas2.htm