Minggu, 28 Maret 2010

Wawancara Jenderal TNI (purn.) A.H. Nasution : "Tidak Perlu Kebakaran Jenggot..."

Wawancara Jenderal TNI (purn.) A.H. Nasution :
"Tidak Perlu Kebakaran Jenggot..."

Jenderal TNI (purn.) Abdul Haris Nasution, Mantan Ketua MPRS, rupanya sangat tanggap terhadap isu seminar Nawaksara yang dilontarkan Menpora Hayono Isman. "Saya dari tempat tidur jalan ke sini karena Hayono Isman ingin bicara masalah Nawaksara," katanya bergurau di depan puluhan wartawan yang berkumpul di rumahnya, Rabu lalu (2 April 1997).

Begitu isu Nawaksara meluncur, Pak Nas memang diserbu pertanyaan wartawan. Tapi, karena belum lama menjalani operasi prostat, bekas orang pertama MPRS itu hanya bisa menjawab pertanyaan wartawan secara tertulis. Hanya sekitar sepuluh menit dia berada di tengah-tengah wartawan berbagai media, termasuk Mustafa Ismail dari TEMPO Interaktif.

Berikut tanya jawab tertulis dengan Jenderal (purn.) Nasution:


Bagaimana tanggapan Bapak terhadap anggapan sementara orang bahwa Nawaksara itu tidak ada (dibuat-buat), sehingga timbul gagasan Menpora Hayono Isman untuk menseminarkannya?

Yang beranggapan bahwa Nawaksara itu tidak ada, adalah mereka yang tidak mengetahui. Untuk menghadapi orang yang tidak mengetahui itu, tidak perlu kebakaran jenggot. Jangan dibuat pekerjaan rumah (PR) oleh mereka yang sebetulnya tidak mengetahui. Tentang niat Menpora melaksanakan seminar tentang hal itu yang khabarnya demi pelurusan sejarah, tentu boleh saja, tetapi pilihlah momentum lain, tidak harus sekarang. Kini kita sedang menghadapi banyak persoalan yang memerlukan penanganan secara serius.

Kenapa yang bereaksi itu bukan pakar sejarah, tetapi justru idenya datang dari Menpora Hayono Isman? Kenapa pula harus dilakukan menjelang pemilu yang dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan baru?

Kita tidak tahu apa yang ingin dicapai oleh Menpora dalam persoalan ini.

Bagaimana sebenarnya mengenai Nawasaksara itu?

Nawaksara itu istilah dari Bung Karno, sembilan huruf, yang terdiri dari sembilan pokok isi pidatonya. Terhadap pidato itu timbul reaksi-reaksi dari masyarakat terutama dari KAMI dan KAPPI-KAPI. Mereka menganggap pidato itu bukan sebagai progress report (laporan pertanggungjawaban), tidak sesuai dengan Keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966 tentang pemberontakan G-30/S-PKI, kemerosotan ekonomi dan akhlak.

Proses seterusnya, pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden memenuhi Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 dengan menjawab Nota Pimpinan MPRS Nomor nota 2/Pimpinan MPRS, perihal melengkapi laporan pertanggungjawaban yang disebut sebagai Pelnawaksara (Pelengkap Nawaksara). Karena pimpinan MPRS menolak pertanggungjawaban Presiden, maka pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengeluarkan Resolusi agar MPRS mengadakan Sidang Istimewa. Konsiderans Resolusi DPR-GR untuk Sidang Istimewa MPRS itu menyebutkan, bahwa keputusan MPRS No.5/MPRS/1966 tentang tanggapan MPRS terhadap Nawaksara adalah jalan tengah untuk tidak menolak sepenuhnya laporan pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPRS di depan Sidang Umum MPRS ke IV yang tidak memenuhi harapan rakyat.

Melalui Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan dari Presiden Sukarno kemudian diserahkan kepada Jenderal Suharto sebagai Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden. Kemudian atas resolusi DPR-GR pada tanggap 28 Februari mendesak MPRS agar mengadakan Sidang Umum ke-V untuk mengangkat Pejabat Presiden menjadi Presiden penuh. Karena syarat terakhir ini dipersyaratkan oleh negara-negara donor (IGGI) yang pertama di Tokyo, Jepang.

Apakah cuma Nawaksara yang perlu diluruskan, atau mungkin ada peristiwa-peristiwa sejarah lainnya yang juga perlu diluruskan?

Menurut saya masih banyak. Dan itu tugas kalian sebagai generasi muda yang harus membaca sejarah, supaya tidak kesasar atau disasarkan.

Sumber: http://www.tempointeractive.com/ang/min/02/05/utama5.htm



Jenderal TNI (purn) A.H. Nasution:
"Saya Tidak Terpancing Untuk Kudeta"

Sekali waktu pada tahun 1994, seorang mahasiswa Universitas Indonesia pernah bertanya kepada Jenderal (purn.) Nasution : mengapa Bapak tidak mengkudeta Bung Karno, padahal Bapak adalah korban PKI? Lama Nasution tak menjawab pertanyaan itu, bahkan sampai acara diskusi di Kampus UI Depok berakhir, Nasution belum mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.

Jauh hari kemudian, sebuah makalah singkat ditulis Nasution untuk menjawab pertanyaan mahasiswa UI tadi. Berikut petikan makalah singkat itu :

Rupanya ada saja anggapan bahwa kemauan sikap atasan harus ditaati bawahannya. Tentulah sistem TNI tidaklah demikian oleh karena kehidupan prajurit adalah taat kepada Sapta Marga dan lain-lainnya, serta taat sepenuhnya kepada perintah atasannya (hukum disiplin), atas dasar kesadaran perjuangan, TNI kita tidaklah terkecuali.

Saya mendengarkan satu penilaian terhadap pribadi saya sebagai konseptor Perang Gerilya yang cukup berhasil. Tapi rupanya saya juga dinilai berhasil demikian di bidang militer dan tidaklah berhasil di bidang politik yakni sebagaimana ada diajukan mengapa Pak Nas tidak mengoper kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno setelah G30S. Memang pada tahun 1965 itu tidak ada niat pada kami, para Jenderal untuk mengkup Presiden, hal itu pada malam 1 Oktober 1965 dinyatakan oleh Jenderal Suharto: "Untuk sementara pimpinan AD kami pegang, antara AD, ALRI dan AKRI telah mendapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan Kontra Revolusioner yang menamakan dirinya "G30S" . . . Telah membentuk "Dewan Revolusi Indonesia" dan telah mengambil kekuasaan negara atau lazimnya disebut kup dari tangan Presiden Sukarno. . . .

Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan mereka itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke-akar-akarnya. Kita yakin dengan bantuan penuh dari masa rakyat yang progressif revolusioner, gerakan Kontra Revolusioner 30 September pasti dapat dihancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya di bawah pimpinan Presiden kita tercinta Bung Karno."

Memanglah tidak pernah ada niat menggeser Presiden sedemikian, karena dengan mengkup presiden dapatlah PKI membuktikan alasan mereka untuk mengkup pimpinan AD dan menggantinya dengan orang-orang mereka sebagai landasan untuk mengoper pimpinan RI. Jadi kami tidaklah punya niat demikian dan syukurlah tidak terpancing berbuat demikian. Yang jadi pikiran kami adalah hanya satu, yakni waktu itu fitnah terhadap AD sebagai antek CIA untuk menyingkirkan Presiden. Jadi tidak ada niat kami demikian, yang jadi niat kami hanyalah agar tukang fitnah itu diperiksa dan kami bersedia diadili jika fitnah itu benar, tetapi sebaliknya jika fitnah mereka tidak benar, supaya si pemfitnah itu diadili/dihukum konform. Karena itu para Jenderal AD saya kerahkan untuk membuat petisi kepada Presiden guna membantah fitnahan itu, sebagaimana saya ucapkan pada penglepasan jenazah Yani (Jend. A. Yani) dkk.

Di samping itu perlulah saya ingatkan bahwa dengan pangkat senior saya, maka saya tidaklah berhak memerintahkan bawahan. Upaya fitnahan kepada saya cukup berhasil yakni pada tahun 1962 "menggantikan saya" dengan Jenderal Yani, lalu setahun kemudian mereka berhasil pula "meniadakan" jabatan Wapangsar saya, sehingga saya sepenuhnya di luar komando ABRI. Maka dengan itu dapatlah dimengerti.

Seperti tertulis Cindy Adams (penyusun biografi Bung Karno) dalam "My Friend The Dictator", tentang hari-hari genting itu berada di sekeliling Presiden. Pada halaman 307: "The only reason Suharto was names to his high position was as a sop to Soekarno, who hates Nasution, the uncrowned political ruler of the military", menggambarkan kegigihan emosional beliau dalam soal-soal mengenai pribadi saya. Saya telah mendengar kegigihan itu sebelumnya dari Jenderal Soeharto sendiri, waktu persoalan Kas KOTI (kepala staf komando tertinggi), pemecatan saya dari Kabinet, dsb-nya. Beda dari masa saya KSAD term ke-2, dimana beliau menyerahkan surat kuasa penuh yang ditandatangani oleh PM Juanda kepada saya sewaktu beliau pergi ke luar negeri. Tapi dengan meneliti proses pematangan oleh PKI cs, kemudian saya dapat memahami satu dan lainnya.

Prosesnya ialah pertama-tama pergolakan memperebutkan komando AD, Tanggal 1 Oktober 1965 Jenderal Suharto sesuai standing order AD bertindak sebagai Pj. Pangad, tapi Presiden mengoper Komando AD dengan Jenderal Pranoto sebagai care taker. Setelah perundingan Bogor (saya tidak diundang), tanggal 3 Oktober Jenderal Suharto mengumumkan mematuhi perintah Presiden melepaskan jabatan Pj. Pangad dan bertindak seterusnya sebagai Pangkopkamtib, dst-nya.

Bergolaklah soal menduduki jabatan-jabatan yang menentukan yaitu Kas KOTI, Wakil Presiden, Jakil PM Bidang Hankam, dst-nya. Pangad mencalonkan saya jadi Kas KOTI tapi ditolak oleh Presiden, sehingga Jenderal Suharto terpaksa merangkapnya di samping jabatan Pangad dan Pangkopkamtib. Presiden marah, karena ada beberapa DRD mengusulkan saya jadi Wakil Presiden? Sehingga Pangad memprakarsai Statement ABRI 21 Januari 1966, tak perlu mengisi jabatan itu. Kemudian Presiden menghapuskan jabatan saya, Menko Hankam/Kasab, Presiden menolak lagi pencalonan saya sebagai Waperdam Hankam, sehingga Jenderal Suharto terpaksa lagi merangkapnya di samping jabatannya yang sudah cukup banyak itu. Kebetulan sebagai senior ABRI saya dimunculkan oleh AD untuk berbagai jabatan itu, tapi tiap kali dilawan gigih oleh Presiden, tapi untuk menjabat Ketua MPRS beliau tidak mutlak merintangi, dan bisa menerima asal jangan jadi Pj. Presiden. Inilah yang terjadi.

Memanglah ada saya penilaian politik bahwa sikap saya kurang "politis", sehingga terjadi pendapat-pendapat bahwa saya melihat "kesempatan-kesempatan" tersebut dengan kacamata yang dianggapnya lebih legalitis (UUD) serta idealis daripada politis.

Saya tidak tersinggung, tapi merasa berkewajiban untuk menjelaskan peristiwa 1965 itu sebagaimana adanya kepada mahasiswa. Adalah pertanyaan yang sampai sekarang terus diajukan kepada saya baik dari luar maupun dari dalam negeri, tapi perlu juga dihargai kondisi pada waktu itu dimana "Presidenlah yang masih menentukan tentang jabatan-jabatan", sehingga ditulis oleh Cindy Adams seperti tersebut diatas.

Saya menghargai sikap spontan mahasiswa sebagaimana telah menilai saya sebagai tukang gerilya militer dan bukan politik. Dan saya berdo'a semoga pembangunan ABRI seterusnya dilengkapi sebagai milisi, sehingga para perwiranya bukan saja berasal dari Akademi tapi juga dari perwira cadangan (wamil). Seingat saya belakangan ini 2 (dua) perwira puncak tentara Amerika adalah juga berasal dari wamil (Panglima Gulf serta Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf). Insya Allah dengan demikian lebih terpadu persatuan semua pemuda baik dalam ABRI maupun Sipil.

Saya mengharapkan agar Kampus UI akan berfungsi terus sebagai salah satu pembaruan perjuangan bangsa karena itu Insya Allah UI tetaplah terpimpin dan terbina jadi pembaru perjuangan. Sebagai manula saya sadar bahwa seterusnya nasib RI adalah di tangan generasi penerus dan sebagai manula saya sadar tugas mesti beralih.

Saya yakin bahwa konflik kepentingan adalah bagian tetap dari kehidupan manusia. Aspirasi dan kepentinganlah yang melahirkan politik. Maka pokok permasalahan adalah terletak pada politik umumnya dan pada pilihan penyelesaian konflik khususnya. Saya yakin bahwa kondisi yang diharapkan Mac Arthur itu takkan tercapai selama politik lebih berdasarkan kekuasaan dan bukan berdasarkan "moralitas dan akal sehat". Kita kenal motto Mao Tse Tung bahwa politik lahir dari laras bedil dan di Indonesia kami kenal slogan komunis bahwa politik adalah panglima. Kedua motto itu telah membawa bencana. Dalam masa jayanya komunis di Indonesia, saya amanatkan kepada tentara: "Bahwa akhlaklah panglima". " Karena akhlak adalah kekuatan dari dalam diri sendiri untuk berbuat baik dan menjauhi yang tidak baik."

Sebagai negara baru kita tidaklah sekedar ingin mengejar ketertinggalan terhadap negara-negara maju, melainkan sebagai orang beriman kita ingin membangun kehidupan bermartabat spritual dan material dengan ridho Tuhan. Kita yakin bahwa ridho-Nyalah kebahagiaan hakiki dunia akhirat.

Demi mengupayakan sikap hidup demikian maka upaya pembangunan bangsa, khususnya pendidikan berfungsi central. Pendidikan demi pembangunan "manusianya", character building, serta pembangunan kecerdasan/ketrampilan, penguasaan ilmu dan teknologi. Yang pertama untuk memproduksi manusia, yang mampu menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan dari jamannya dan yang kedua untuk menjawab tantangan-tantangan dalam kebutuhan-kebutuhan materi dan teknologi dari perkembangan masyarakat.

Kita harus berpacu dengan kemajuan teknologi, akan tetap yang menentukan adalah tetap" the man behind the gun". Dan bagi orang beriman "ridho Tuhanlah mahkota segala amalan". Kiranya dengan menghayati sikap hidup demikian maka dalam penyelesaian konflik-konflik, baik nasional maupun internasional, kita selalu berupaya mencari dan menempuh jalan yang diridhoi-Nya. Jakarta, Oktober 1994 A.H. Nasution Jenderal TNI (Purn.)

Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/05/utama6.htm


Majalah D&R, 17 Januari 1998
Edisi 46/02 - 17/Jan/1998

Wawancara Abdul Haris Nasution:
Saya ini 21 Tahun dicekal


"JENDERAL NASUTION, seperti pengakuannya sendiri, adalah seorang "strong old soldier". Ini diucapkan oleh dokter yang pernah mengoperasi jantungnya di Amerika Serikat tahun 1986 silam. Kini di usianya yang ke-80, Jenderal Abdul Haris Nasution yang baru saja mendapatkan bintang lima masih tetap kelihatan segar meski sesekali masih harus diperiksa kesehatannya. "Saya bersyukur bahwa saya masih memasuki usia 80 tahun. Ya, bagaimanapun tambah tualah, tambah banyak penyakit. Jadi yang kami doakan itu adalah supaya terjaga kesehatan," katanya kepada D&R. Yang istimewa dari tokoh besar yang pekan ini menjadi "Tamu Kita" ini adalah mungkin ia salah satu dari sedikit jenderal yang sangat produktif menulis buku, memiliki daya ingat yang tajam, dan bahasa yang sangat lugas. Salah satu buku tentang masa kecilnya baru saja diluncurkan, sedangkan satu buku lagi yang berkisah tentang sejarah kepemimpinannya di militer -- tentu saja termasuk peristiwa G30S/PKI dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya -- juga sedang digodok untuk diterbitkan. Yang menarik juga adalah peran Jenderal Nasution sebagai Ketua MPRS di tahun 1966 yang menolak pidato pertanggungjawaban Bung Karno. Berikut adalah wawancara wartawan D&R Tiarma Siboro yang dijawab secara tertulis dan lisan oleh jenderal yang bercucu empat orang ini.


Apa komentar Anda tentang penganugerahan Bintang Lima kepada Anda oleh ABRI menjelang hari ABRI tempo hari?

Reaksi saya cuma satu: tidak menolak, itu saja (tertawa perlahan). Saya ini 21 tahun dicekal, ha, ha, ha. Yang mencekal itu kan pemerintah. Jadi, ya, segala sesuatu saya terima saya, jadi saya tidak bisa menolak. Tapi saya bersyukur juga.

Bagaimana asal mula pengangkatan Bapak sebagai Ketua MPRS dan dilantik pada 12 Juni 1966? Siapa saja yang saat itu menjadi anggota MPRS?

Saya dipilih oleh golongan-golongan yang ada di MPRS, yaitu Nasionalis, Islam, Kristen/Katolik, Golkar, dan Utusan Daerah. Selama pemilihan itu, saya tidak hadir dalam sidang-sidang, tetapi sebelum pemilihan, saya didatangi oleh Jenderal Alamsyah Ratupiawiranegara, Ketua SPRI Panglima Angkatan Darat, yang diutus oleh Jenderal Soeharto. Pimpinan Angkatan Darat telah memutuskan agar saya sebagai senior ABRI waktu itu dicalonkan menjadi Ketua MPRS

Bagaimana Presiden Soekarno membacakan pidato Nawaksara yang konon merupakan pidato pertanggungjawaban Bung Karno seputar G30S/PKI?

Pidato Presiden tanggal 22 Juni 1966 pada Sidang Umum IV/ MPRS itu disebutnya sebagai Progres Report dengan judul Nawaksara, karena berisi sembilan pokok. Menurut penilaian waktu itu,amanat tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu progress report atau pertanggungjawaban, karena, pertama, materi amanat itu pada hakikatnya tidak memberikan pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Seharusnya sesuai dengan kedudukan presiden terhadap MPRS, maka presiden harus memberikan pertanggungjawaban hasil kerjanya kepada MPRS. Kedua, isi amanat itu pada umumnya berisi saran-saran kepada MPRS dalam bidang poleksos (politik, ekonomi, sosial) di mana presiden menghendaki agar MPRS mempertahankan saja keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan MPRS yang sebenarnya menyimpang dari UUD 1945, misalnya mengenai presiden seumur hidup.

Mengapa kemudian MPRS menolak pidato pertanggungjawaban tersebut, dan mengapa dinyatakan belum lengkap sehingga masih perlu dilengkapi?

Reaksi berbagai lapisan masyarakat alas pidato Nawaksara tidak mencerminkan kehendak masyarakat pada saat itu. Sebagai pimpinan MPRS, setiap hari harus melayani berbagai delegasi dari masyarakat terutama pemuda, pelajar, mahasiswa, dan berbagai kelompok masyarakat. Pidato itu tidak menggambarkan pertanggungjawaban mengenai kemunduran ekonomi, akhlak, dan G30S/ PKI. Dari keseluruhan pidato tersebut, MPRS menilai bahwa Nawaksara kurang memenuhi harapan rakyat. Maka, keluarlah Keputusan MPRS No.5/MPRS/1996.

Benarkah saat itu banyak pihak yang menginginkan Bung Karno turun? Siapa saja mereka? Adakah saat itu mereka memberikan altenatif nama untuk menggantikan Bung Karno sebagai Presiden RI?

Sebelum pemberian Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), tidak terdengar suara-suara tentang penggantian Presiden Soekarno. Pada umumnya suara-suara dari masyarakat hanya menghendaki pemurnian UUD 45 secara murni dan konsekuen. Pada Pasal 2 Ayat 1 Tap. MPRS No.XV/MPRS/ 1966 menyebutkan bahwa jika presiden berhalangan, pemegang Supersemar memegang jabatan presiden. Demikian pula pada Ayal 1 di atas oleh pengembannya dilakukan dengan didampingi oleh pimpinan MPRS dan pimpinan DPR-Gotong Royong.

Dalam kapasitas Bapak saat itu sebagai Ketua MPRS, bagaimana Bapak mengomentari pidato kenegaraan Bung Karno yang berjudul Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) pada 17 Agustus 1966?

Jasmerah adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno. Presiden memberi judul pidato itu dengan Karno mempertahankan garis politiknya yang berlaku "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah". Dalam pidato itu Presiden menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa MPRS belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk.

Ketika Anda masih menjabat sebagai Ketua MPRS, Anda memberikan mandat kepada pejabat presiden pemegang Supersemar untuk memeriksa keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G 30 S/PKI, tapi kemudian pemeriksaan tersebut dihentikan (dideponir). Mengapa?

Sebenarnya kami waktu itu mengirim surat kepada beliau (Bung Karno), tapi perhatiannya kurang, malah menjadi pidato Jasmerah. Saat itu kami melihat responsnya tidak sebagaimana yang kami harapkan. Kemudian DPRGotong Royong memproses dan mengusulkan supaya beliau dituntut. Tapi, ya, kita di Indonesia tidak usah begitu jauh.

Ketika ramai demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus meminta Bung Karno mempertanggungjawabkan terjadinya G30S/PKI, MPRS memperingatkan Bung Karno agar melengkapi Nawaksara. Apakah Bung Karno kemudian melengkapinya?

Bung Karno memang melengkapinya dengan apa yang disebut sebagai Pel-Nawaksara (Pelengkap Nawaksara). Pimpinan MPRS telah menerima dengan resmi surat Presiden Rl tentang pelengkap pidato Nawaksara yang diantarkan oleh Sekretaris Militer Presiden Mayjen Suryo Sumpeno. Setelah membaca surat tersebut, maka catatan sementara dari pimpinan MPRS adalah bahwa Presiden masih meragukan keharusannya untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/ MPRS/1966. Kemudian, Pelengkap Nawaksara itu bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para panglima Angkatan Bersenjata.

Menurut Pak Nas, seberapa jauh "keterlibatan" atau pengetahuan Bung Karno tentang upaya G30S/PKI?

Pada 1 Februari 1967, Pangkopkamtib Jenderal Soeharto mengirimkan laporan tim Pangkopkamtib dengan 13 halaman data dan fakta yang ditemukan dalam persidangan pengadilan semenjak perkara Nyono yang menyangkut diri Presiden Soekarno dan yang dapat digunakan sebagai bukti maupun petunjuk-petunjuk pada tingkat keterlibatan dalam masalah G30S/PKI. Menurut saya, Bung Karno sesuai dengan garis politiknya saat itu, memang memberikan "angin" kepada PKI. Untuk mengetahui sejauh mana keterlibatannya dengan G30S/PKI, hanya pengadilanlah yang dapat memutuskan.

Persatuan Wartawan Indonesia dan Kodam Siliwangi ternyata pada 19 Januari 1967 menyatakan tidak dapat menerima Pelengkap Nawaksara. Bagaimana sikap MPRS menghadapi penolakan-penolakan itu?

MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami simpulkan dalam rapat pada 10 Januari 1967.

Pada 21 Februari 1967 Bung Karno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Supersemar sesuai dengan Tap. MPRS Tahun 1966. Penyerahan kekuasaan itu kemudian disetujui oleh DPR-Gotong Royong. Bisakah diceritakan kembali prosesnya?

Pada 22 Februari 1967 seluruh menteri berkumpul di Istana Merdeka untuk mendengarkan pengumuman Presiden yang berisi: "Setelah menyadari konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara, maka dengan ini saya umumkan:

Pertama: Kami, Presiden Indonesia Mandataris MPRS/Pangti ABRI, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Tap. No.lX/MPRS/66, Jenderal TNI Soeharto, sesuai dengan jiwa Tap. No.XV/MPRS/66 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.

Kedua: Pengemban Tap. No.lX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada presiden setiap waktu jika dirasa perlu.

Ketiga: Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan revolusi, dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas pengemban Tap. No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut di atas.

Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS."

Menurut Pak Nas, mengapa Bung Karno tidak kunjung bersedia membubarkan PKI kendati tuntutan itu sudah demikian gencarnya?

Yang dapat memberikan alasan mengapa tidak membubarkan PKI hanyalah yang bersangkutan (Bung Karno).

Ada yang Pak Nas harapkan di usia senja ini?

Kalau usia sudah begini, mau berjuang pun tidak. Kalau ada orang bergerilya, biarlah orang lain, saya hanya di samping.

Majalah D&R, 17 Januari 1998
Sumber: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/46/nas2.htm