Senin, 26 April 2010

Setumpuk Buku, 30 Tahun yang Lalu

Setumpuk Buku, 30 Tahun yang Lalu

Tak ada yang luar biasa pada buku itu. Sebuah buku tua yang, jika masih ada, telah berusia tiga dasawarsa, dengan lembar-lembar tulisan yang boleh jadi sudah menguning. Sampul depannya berwarna putih dengan cap Garuda Pancasila serta susunan huruf kaku berwarna biru. Laporan Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972, begitulah buku setebal 548 halaman itu bertajuk. Inilah buku yang merangkum pandangan dan kritik Abdul Haris Nasution (almarhum), Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) ketika itu, tentang kekuasaan Soeharto di awal Orde Baru-seputar tujuh tahun pertama masa kekuasaannya. Tapi, pada 1972, sejarah buku itu ditutup. Pemerintah meminta dokumen itu dikumpulkan untuk dimusnahkan. Yang telanjur beredar ditarik dan orang yang membuatnya diinterogasi. Saat ini hampir tak ada yang memiliki buku tua itu. Arsip Nasional tak lagi menyimpannya, begitu juga perpustakaan besar di universitas-universitas. "Arsip Nasional malah memintanya dari saya, sementara saya sendiri tak punya," kata Nyonya Nasution, istri Abdul Haris. "Saya hanya punya fotokopinya," kata Abdul Kadir Besar, 76 tahun, Sekretaris Jenderal MPRS periode 1966-1972. Sore itu, ketika ditemui di sebuah rumah di bilangan Menteng, Jakarta, matanya menerawang. Ia mengenang masa lalu. Sejatinya ini sebuah kisah lama: sebuah cerita dari tiga dasawarsa lalu. Tapi, Mei silam, sebuah surat melayang ke meja Abdul Kadir Besar. Pengirimnya adalah University of Western Australia. Mereka meminta izin kepada Kadir untuk menerjemahkan beberapa tulisan dalam buku itu. Jika proyek penerjemahan itu terlaksana, sebuah catatan sejarah Indonesia bisa diselamatkan di luar negeri. Di dalam negeri, ia tak bersisa. Kisah ini bermula pada 1971. Ketika itu, Nasution meminta Abdul Kadir membukukan semua dokumen tentang aktivitas parlemen Indonesia. Kadir membuat beberapa seri buku berdasarkan periode parlemen. Ada buku tentang rapat-rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Ada juga buku tentang konstituante dan buku tentang lima kali sidang MPRS periode 1960-1968. Selain itu, ada buku khusus tentang rapat komisi dan subkomisi panitia ad hoc MPRS. Total ada sekitar 120 buku yang masing-masing dicetak 3.000 eksemplar. "Setiap seri dicetak dengan warna sampul berbeda," kata Kadir. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menanggung seluruh biaya produksi sebesar Rp 27 juta. Proses cetak dilakukan oleh Percetakan Siliwangi, Jakarta. Dalam surat yang dikirimkan MPRS kepada percetakan itu, disebutkan sebagian buku sudah harus selesai pada 15 September 1972-dua minggu sebelum pelantikan MPR hasil pemilu. Buku itu sejatinya akan dibagikan kepada anggota MPR baru. Sekitar 2.500 eksemplar memang masih disimpan di gudang MPRS di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Hanya sebagian kecil yang sempat dibagikan Nasution ketika ia berkunjung ke beberapa pesantren di Jawa Timur. Sebagian lainnya dikirim ke beberapa universitas negeri serta kepada para menteri dan Presiden Soeharto. Tapi justru karena sampai ke tangan pemerintah itulah buku tersebut memancing persoalan. Pada 28 November 1972, polisi berdasarkan surat bernomor Sprin/ODY/04/320/7/XI/72 melakukan penyitaan. Buku di gudang Cilandak dirampas dan yang sudah beredar ditarik. Hanya sedikit yang tersisa. "Saya punya karena, ketika ada pelarangan, buku-buku itu saya simpan di gudang," kata Mashuri, bekas Wakil Ketua MPRS. Di ruang kerja yang sempit di rumahnya di Bandung, Mashuri memang masih menyimpan sebagian koleksi sejarah itu. Tapi yang lainnya musnah. Abdul Kadir Besar, sejumlah pengurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi. Tudingannya seram: membocorkan rahasia negara. "Saya diperiksa setiap hari selama sebulan penuh," kata Kadir. Tak seperti Kadir, yang diinterogasi di markas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), "pesakitan" lainnya diperiksa di Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak), lembaga yang kini disebut Markas Besar Kepolisian RI (lihat Mereka yang Diinterogasi). Mengapa buku itu menjadi momok? "Sebenarnya yang diincar hanya buku Laporan Pimpinan MPRS ini," kata Kadir. Koleksi lainnya hanya terseret-seret. Dalam buku itu, Nasution memang keras mengkritik Soeharto. Ia misalnya mempersoalkan prioritas pembangunan yang Jawa-sentris. Peran asisten pribadi (aspri) presiden dan tendensi militerisme dalam pemerintahan juga dipermasalahkan. Nasution bahkan memperingatkan sesuatu yang telah dimulai Soeharto dan kemudian terpelihara hingga era reformasi kini: penggunaan dana nonbujeter. "Buku ini banyak mengandung kritik kepada pemerintah yang bahkan berlaku hingga sekarang," kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam (lihat Lubang-Lubang di Dua Jalan). Lalu siapa yang mengambil inisiatif memusnahkan harta sejarah itu? Tak jelas betul. Tak ada bukti konkret perintah langsung datang dari Soeharto. Diduga kuat Soeharto merestuinya, Abdul Kadir Besar mencurigai ini kerjaan Kopkamtib, yang ketika itu diketuai Jenderal Soemitro. Tak aneh: Kadir diinterogasi oleh aparat Kopkamtib. Asvi melukiskan kuatnya peran Kopkamtib ketika itu: "Bahkan kroco-kroco-nya di sana bisa mengambil keputusan," ujarnya kepada TEMPO. Kopkamtib sendiri tak bisa dilepaskan dari konteks politik pada masa itu, ketika peran militer amat dominan-ini sebuah lembaga di luar hukum yang pekerjaannya lebih mirip dinas-dinas rahasia milik rezim militer: menangkap, menginterogasi, dan "menangani" orang-orang yang dituduh subversif. Pada akhir Orde Baru, lembaga ini diganti namanya menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas), yang pekerjaannya idem dito dan cakupannya sangat luas: mengurusi sengketa tanah, protes petani, dan bahkan sengketa perburuhan. Setelah reformasi, Bakorstanas dibubarkan. Soemitro sendiri tentu saja tak bisa lagi ditanyai. Ia wafat beberapa tahun lalu. Memoarnya yang ditulis pada 1994 juga tak menyebut-nyebut pelarangan buku ini. Tapi, siapa pun yang mengambil inisiatif, banyak yang percaya bahwa peristiwa pelarangan buku itu tak datang dari ruang hampa. Konteks besarnya adalah upaya Soeharto mengukuhkan kekuasaannya sebelum mendapat mandat sebagai presiden definitif pada 1972. Beberapa sarjana Barat menyebutnya sebagai kudeta merangkak (creeping coup d'etat) ala Soeharto. Salah satu bukti "kudeta" itu adalah penundaan pemilu. Dalam Sidang Istimewa 1967 sebenarnya sudah ditetapkan pemilu harus dilaksanakan pada 1968. Tapi Soeharto menundanya hingga tiga tahun kemudian dengan alasan Undang-Undang Pemilu belum tersedia. Alih-alih mempersiapkan pemilu yang demokratis, Soeharto malah menekuk lawan politiknya selama masa transisi itu. Sisa-sisa PKI yang dia anggap berbahaya dikirim ke Pulau Buru. Lawan-lawan lainnya dia pagari agar tak masuk ke dunia politik melalui berbagai skrining ketat. Anggota parlemen ditambah melalui penunjukan subyektif pemerintah. Pada Januari 1967, misalnya, anggota DPRGR ditambah, yang sebagian besar (63 kursi) dijatah buat Golongan Karya. Dan MPRS pelan-pelan dibuat tak berdaya. Resminya, lembaga itu masih bekerja hingga Oktober 1972. Namun, sebelum itu, melalui pengumuman pemerintah, MPRS dinyatakan tak berfungsi. "Saya tidak pernah dikonsultasikan oleh Presiden. Tahu-tahu kami tidak berfungsi lagi," kata Nasution dalam memoarnya, Jenderal tanpa Pasukan, Politikus tanpa Partai. Keinginan Soeharto untuk mengamankan dan mempercepat dicapainya jabatan presiden definitif diperkuat oleh cerita Abdul Kadir Besar, tentara yang menjadi tangan kanan Nasution. Menurut Kadir, suatu hari datang kepada Pak Nas tiga jenderal utusan Soeharto. Mereka meminta Nasution segera mengesahkan Soeharto sebagai presiden definitif. Nasution menolak dengan alasan menunggu Pemilu 1971. Sempat tegang, ketiga jenderal akhirnya pulang dengan tangan kosong. "Belakangan, seorang jenderal kembali dan meminta maaf kepada Pak Nas dan mengatakan ia hanya disuruh Soeharto," kata Kadir. Berbagai cerita kudeta merangkak ini secara implisit sebetulnya dibenarkan oleh Ali Moertopo, militer kepercayaan Soeharto. Dalam sebuah artikel yang terbit pada 1981, Ali menyebut delapan tahap strategi Orde Baru menghadapi Orde Lama. Salah satunya adalah menyederhanakan sistem kepartaian dan mengikis musuh Orde Baru. Tapi dalam memoarnya, " Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya" , Soeharto membantah. " Ada yang menyarankan saya untuk mengambil kekuasaan, tapi saya tak mau," katanya. Meski arus besar berpihak kepada Soeharto, "perlawanan" ketika itu bukan tak ada. Terhadap marginalisasi peran MPRS dan Nasution, misalnya, muncul Subhan Z.E., Wakil Ketua MPRS dari Nahdlatul Ulama. "Ali Moertopo kelihatan tidak senang dengan pimpinan MPRS. Jika ia tak suka, mestinya yang diserang bukan MPRS karena institusi itu dilindungi UUD," katanya. Di parlemen sendiri, khusus mengenai penarikan buku-buku Nasution, dukungan lebih banyak diberikan kepada Soeharto. Sayuti Melik, anggota legislatif dari Golkar, misalnya, meski tak jelas-jelas mendukung pemusnahan buku itu, berkata, "Yang berhak menilai mandataris MPRS adalah lembaga MPRS dan bukan pimpinan MPRS." Kasus ini memang mencuatkan pertarungan di antara dua jenderal: A.H. Nasution dan Soeharto. Mengutip ucapan sejarawan Asvi Warman Adam, "Buku ini adalah bentuk perlawanan Nasution terhadap Soeharto." Dan jelas ini bukan perseteruan kemarin sore. Meski menguasai pasukan, Soeharto tak pernah bisa benar-benar menyingkirkan Nasution selepas masa kejatuhan Sukarno. Dan Soeharto membutuhkannya untuk melawan PKI. Nasution jelas lebih senior ketimbang Soeharto. Saat Nasution kembali dilantik sebagai KSAD pada 1955, Soeharto belum menjadi apa-apa. Ketika Nasution telah aktif membela Sukarno pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soeharto baru meniti karir pada tingkat regional (lihat Nasution, Soeharto, dan Estafet Politik Tentara). Itulah sebabnya, ketika belakangan Nasution dipepet di sudut ring oleh Soeharto, ia menggeliat. Setelah MPRS dibubarkan, Nasution melakukan road show ke daerah-daerah untuk memberikan ceramah. Ia ke Jawa Timur mengunjungi Pesantren Lirboyo di Kediri dan Pesantren Gontor di Ponorogo. Sebentar kembali ke Jakarta, ia lantas pergi lagi. Ia menghadiri acara di beberapa kota di Jawa Barat: Bandung, Pacet, acara mahasiswa di Sindanglaya, dan sebuah madrasah di Cipanas. Pada 18 November 1972, ia memberikan ceramah di Universitas Indonesia, yang menyebabkan ia dipanggil Kopkamtib. Tapi panggilan itu tak digubris Nasution. Pada hari itu, Nasution mesti menghadiri pernikahan putri Profesor Sarbini dengan tokoh mahasiswa Hariman Siregar. Baru pada malam harinya dia menghadap Panglima Kopkamtib. "Pak Nas, kalau orang lain, buat saya tak masalah. Tapi justru Pak Nas yang bicara, yang diketahui orang tidak senang kepada Pak Harto, ini bisa menjurus kepada timbulnya suasana yang membahayakan. Saya mohon Pak Nas, jangan sampai terulang lagi," kata Jenderal Soemitro kepada Nasution seperti yang dimuat dalam memoar Soemitro. Tak jelas apa reaksi Nasution. Yang pasti, setelah itu, masa-masa sulit datang kepada sang Jenderal Besar. Dia disingkirkan sebagai politisi dan warga sipil. "Setelah buku-buku itu ditarik, semua fasilitas kami distop. Air PAM rumah kami dimatikan. Bapak diinteli terus. Saya diminta mundur dari yayasan sosial meski sudah terpilih sebagai ketua," kata Bu Nas kepada TEMPO. Masa-masa sulit itu telah berakhir. Nasution telah tiada dan di tahun-tahun akhir hidupnya ia dirangkul Soeharto dengan diberi gelar jenderal besar. Yang belum selesai adalah catatan sejarah yang hilang bersama musnahnya buku-buku itu. Arif Zulkifli, Dwi Arjanto, Andari Karina Anom, Rinny Srihartini (Bandung), Raihul Fadjri (Yogyakarta), Anas Syahirul, Sunudyantoro (Tempo News Room)

22 Juli 2002
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/07/22/IQR/mbm.20020722.IQR79323.id.html